Mengenai Saya
- Aldha Rizki Utami
- Bogor, Jawa Barat, Indonesia
- just an ordinary girl with complicated mind.
Diberdayakan oleh Blogger.
Entri Populer
-
A. Pendahuluan Prokariota : organisme bersel tunggal yang merupakan bentuk paling awal dan paling primitif pada kehidupan di bumi, yang d...
-
LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DASAR “TEORI PELUANG DAN UJI KHI-KUADRAT (Chi-Square Test) ” Dosen : Dasumiati M.Si Tanggal Praktikum : S...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Percobaan isolasi DNA tanaman dan hewan perlu dilakukan karena isolasi DNA sendiri merupakan t...
-
PENGENALAN ALAT Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa Maulida 1...
-
I. Pendahuluan § Dinding sel hanya terdapat pada sel tumbuhan. § Sebagian besar isi dari sel berupa air. Tekanan air/ ...
-
EKOSISTEM TERESTRIAL Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa Maulid...
-
TANAH DAN DEKOMPOSISI Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa M...
-
A. Batasan Pengertian · Eukariotik : eu = “sebenarnya” ; karion = nukleus. · Sel Eukariotik : sel yang memil...
-
SUKSESI Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa Maulida 1) ,...
-
Bagi pecinta film drama romantis wajib nonton film ini. Dijamin gak akan nyesel karena film ini ngajarin kalo cinta itu mengajarkan kita ...
Pengikut
Facebookku
Minggu, 20 Oktober 2013
LAPORAN FIELDTRIP EKOLOGI DASAR "PENGAMATAN KELELAWAR DI TWA TELAGA WARNA"
03.30
| Diposting oleh
Aldha Rizki Utami
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan
peradaban bangsa kedepan, sangat dipengaruhi oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) dunia yang hanya bisa dicapai melalui keberhasilan
aktivitas penelitian dan pengembangan. Sesuai dengan pasal 31 ayat 5 hasil
amandemen UUD 1945 bahwa “Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai–nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Menindaklanjuti perkembangan ilmu
pengetahuan, maka kami mahasiswa Biologi 2011 mengadakan praktikum lapangan
Ekologi Dasar di Taman Wisata Alam Telaga Warna Puncak Bogor, Provinsi Jawa
Barat. Lokasi dipilih karena pertimbangan dari beberapa faktor. Dilihat dari
faktor geografis dan keanekaragaman jenis fauna di Taman Wisata Alam Telaga
Warna Puncak Bogor terletak
di koordinat 7011’ 13” LS, 109055’22” BT dan berbatasan :
Sebelah Utara dengan Kabupaten
Indramayu
Sebelah Timur dengan Kabupaten Cirebon
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Ciamis
Sebelah Barat dengan Kabupaten Sumedang
Taman Wisata Alam Telaga Warna terletak di sekitar Puncak Pass dan tidak jauh dari jalan
raya Bogor Cianjur, yang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Desa
Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Di dalam kawasan ini terdapat
beberapa vegetasi yang termasuk tipe hutan hujan pegunungan, floranya terdiri
dari beraneka ragam jenis pohon-pohonan, Liana dan epiphyt. Flora yang terdapat adalah
merupakan vegetasi hutan pegunungan dengan jenis-jenis pohonnya adalah Puspa (Schima
walichii), dan Saninten (Castanopsis argentea). Sedangkan untuk
faunanya terdapat jenis satwa liar yaitu beberapa jenis burung (aves)
seperti Tekukur (Streptopelia chinensis), Puyuh (Turnix suscitator),
Kadanca (Ducula sp), dan Walet (Collocalia vulvanorum).
Karena Taman Wisata
Alam Telaga Warna memiliki
potensi keanekaragaman biota yang tinggi, kondisi perairan yang tenang, jernih dan
kondisi udara yang sejuk, menjadi pilihan untuk melakukan pengamatan tentang kelelawar yang ada di Telaga Warna.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum
lapangan ini adalah :
1.
Mengetahui keaekaragaman jenis kelelawar yang
ada di Taman Wisata Alam Telaga Warna.
2.
Mengetahui morfologi kelelawar yang didapat
dengan Mistnet
3.
Mengetahui jenis kelelawar yang ditemui di
Taman Wisata Alam Telaga Warna
4.
Mengetahui peranan kelelawar di dalam
ekosistem
1.3 Manfaat
Hasil
pengamatan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai komunitas
kelelawar (Microchiroptera dan Megachiroptera di kawasan Taman Wisata Alam
Telaga Warna serta peranan tiap kondisi habitat bagi kelelawar sehingga dapat
meningkatkan upaya perlindungan terhadap spesies maupun habitatnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Kelelawar
Kelelawar merupakan hewan dengan jumlah jenis
terbanyak kedua pada kelompok mamalia (Wilson dan Reeder, 1993), lebih dari
setengah spesies mamalia di hutan tropis adalah kelelawar. Kelelawar terdiri
dari dua sub ordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera
berperan sebagai pollinator dan disperser tanaman sedangkan Microchiroptera
berperan sebagai pengendali populasi serangga dan vertebrata kecil (Findley,
1993; Altringham, 1996). Microchiroptera merupakan kelompok kelelawar yang
memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu 834 spesies, sedangkan Megachiroptera
hanya terdiri dari 167 spesies. Jumlah spesies yang sangat banyak ini
menjadikan Microchiroptera menarik untuk diteliti selain peranannya yang sangat
penting sebagai pengendali populasi serangga (Hutson et al., 2001).
Kelelawar
merupakan satu-satunya anggota mamalia yang mampu terbang secara sempurna, Kelelawar
merupakan satu-satunya anggota mamalia yang mampu terbang secara sempurna, hal
ini dikarenakan kelelawar mempunyai membran pada tungkai depannya (Hill &
Smith, 1984) dan persebarannya di daerah tropis sampai dengan daerah subtropis.
Kelelawar mempunyai membran yang membentang pada sisi tubuh, kaki dan ekor,
yang merupakan perluasan kulit punggung dan perut. Membran tersebut sangat
tipis dan elastik, serta terdiri dari dua lapisan kulit dan tidak ada daging di
antaranya, dan hanya mengandung anyaman bersambung yang berisi saraf dan
pembuluh darah. Kelelawar termasuk dalam Ordo Chiroptera, ordo ini terdiri dari
dua sub ordo, yaitu Megachiroptera (pemakan tumbuhan/buah) dan Microchiroptera
(pemakan serangga) (Walker, 1983).
Megachiroptera
berukuran sedang sampai besar, memiliki panjang lengan bawah 36 - 228 mm, dan
berat tubuhnya mencapai 10 gram sampai dengan lebih dari 1500 gram (Nowak,
1995). Kelelawar dari jenis ini tidak memiliki kemampuan ekolokasi yang bagus,
hanya seperseribu energi suara yang dihasilkan oleh kelelawar pemakan serangga
terbang dan ikan (Walker, 1983). Akan tetapi kelelawar ini memiliki mata yang
besar dan kemampuan melihat yang berkembang dengan baik. Sebagian besar memilih
buah sebagai makanan utamanya dan beberapa jenis yang lain adalah pemakan
nektar atau pollen. Megachiroptera hanya terdiri dari satu family/suku, yaitu
famili Pteropodidae (Findley,1993). Microchiroptera memilki ukuran yang tidak
terlalu besar, lengan bawah berukuran 22 – 115 mm, dan berat tubuhnya sekitar 2
– 196 gram. Kelelawar ini memiliki kemampuan ekolokasi yang sangat baik,
telinga luar berkembang dengan baik, dan memiliki lipatan – lipatan khusus
serta tragus dan anti tragus yang berperan dalam penerimaan suara, ini tidak
dimiliki oleh kelelawar Megachiroptera (Nowak, 1995).
Kelelawar
merupakan hewan nocturnal yang mempunyai peran ekologi sangat penting.
Kelelawar Microchiroptera sebagian besar merupakan pemakan serangga (insektivor),
tentunya sangat berperan dalam mengontrol dan mengendalikan populasi serangga,
sehingga tidak terjadi ledakan populasi terutama seranga yang berpotensi
sebagai hama. Sedangkan kelelawar Megachiroptera, memiliki anggota jenis yang
sebagian besar memilih buah sebagai makanannya, dan beberapa jenis yang lain
mengkonsumsi nectar atau pollen, berperan penting dalam membantu penyebaran
biji (seed dispersal) dan juga membantu penyerbukan bunga pada berbagai jenis
tumbuhan, sehingga kelelawar mampu memegang “peran kunci“ dalam sebuah
komunitas hutan.
Kelelawar
umumnya tinggal di gua, bahkan lebih dari setengah jumlah jenis kelelawar
pemakan serangga memilih gua sebagai tempat tinggalnya (Suyanto, 2001). Gua
merupakan suatu habitat yang mempunyai lingkungan yang khas dan berbeda dengan
lingkungan yang lain di luar gua (Alle & Schmidt, 1963). Akan tetapi
lingkungan gua juga sangat rentan terhadap gangguan, salah satunya adalah
gangguan yang ditimbulkan karena aktivitas manusia, seperti pengambilan guano, penambangan
batu kapur ataupun pembukaan gua sebagai obyek wisata. Kerusakan habitat akan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kemampuan bertahan hidup dari
kelelawar (Johnston, 2002).
1.2 Ciri-ciri Penting Dalam
Identifikasi Kelelawar
(diadopsi
dari Suyanto & Wiantoro, 2012)
Secara
umum dalam identifikasi kelelawar terdapat dua macam cirri atau karakter, yaitu
karakter yang bersifat kualitatif dan karakter yang bersifat kuantitatif
(ukuran). Hal yang perlu diketahui untuk pengenalan kualitatif adalah sebagai
berikut:
¾ Selaput
kulit antarpaha tumbuh baik atau tidak
¾ Ada
atau tidak adanya ekor
¾ Pola
perlekatan ekor pada selaput kulit antarpaha
¾ Ada
atau tidak adanya tragus dan antitragus
¾ Ada
atau tidak adanya daun hidung
¾ Struktur
gigi geligi
1.2.1 Selaput kulit antarpaha
Pada
ilustrasi di bawah tampak bahwa anggota suku Pteropodidae, selaput kulit
antarpaha tidak tumbuh baik dan ekor pendek, bebas tidak melekat pada selaput
kulit. Sedangkan anggota suku Megadermatidae mempunyai selaput kulit antarpaha
yang tumbuh baik, tetapi tidak memiliki ekor. Kelompok suku Vespertilionidae
dan Nycteridae dilengkapi ekor yang tidak bebas, tetapi melekat secara sempurna
pada selaput kulit antarpaha. Pada suku Nycteridae ujung ekor membentuk
bangunan seperti huruf T. Berbeda dengan suku Emballonuridae yang selaput kulit
antarpaha tumbuh baik tetapi ekor sebagian besar melekat, sedangkan sebagian
kecil ujungnya mencuat bebas pada pertengahan selaput kulit atau dengan kata
lain ekor bebas sangat pendek, harus diamati dengan seksama baru tampak.
Sedangkan pada suku Molossidae ekor yang bebas munculnya di tepi belakang
selaput kulit antarpaha dan ekor yang bebas dapat tumbuh panjang sehingga
sangat mudah dikenali. (Suyanto & Wiantoro, 2012)
Gambar.
Selaput kulit antar paha beberapa suku kelelawar.
1.2.2 Daun hidung
Daun
hidung sesungguhnya merupakan tambahan organ pada hidung yang khas pada
kelelawar. Secara garis besar daun hidung terdiri atas lipatan kulit bagian
depan/anterior yang bentuknya seperti tapal kuda, bagian tengah yang merupakan
bangunan menonjol disebut taju penghubung dan bagian belakang yang merupakan
lipatan kulit yang menonjol ke atas berbentuk segitiga sampai lanset disebut
daun hidung belakang/posterior. Selain itu ada organ tambahan yang disebut lapet
yang merupakan tonjolan sela bagian bawah. Kebanyakan jenis kelelawar anggota
suku Rhinolophidae tidak memiliki lapet. Sela merupakan bagian depan taju
penghubung. Ukuran dan bentuk sela merupakan ciri penting dalam identifikasi
jenis anggota suku Rhinolophidae. Berbeda dengan daun hidung Rhinolophidae,
daun hidung bagian tengah anggota suku Hipposideridae merupakan organ seperti
kasur menyilang wajah, sedangkan daun hidung belakang berupa lipatan kulit yang
berbentuk segi panjang bersekat atau tidak. Selain itu, daun hidung
Hipposideridae memiliki lipatan kulit tambahan di tepi bawah daun hidung depan
yang disebut daun hidung tambahan. Ada atau tidak adanya daun hidung tambahan
dan jumlah daun hidung tambahan penting dalam identifikasi jenis anggota Hipposideridae.
(Suyanto & Wiantoro, 2012).
Gambar.
Daun hidung Rhinolophus trifoliatus
Gambar.
Daun hidung anggota suku Hipposideridae
1.2.3 Tonjolan Daun telinga
Tonjolan
daun telinga merupakan ciri penting dalam klasifikasi kelelawar. Pteropodidae
adalah suku kelelawar pemakan tumbuhan yang tidak memiliki tonjolan/lipatan
daun telinga. Tonjolan bagian daun telinga sebelah dalam disebut sebagai
tragus, sedangkan tonjolan bagian daun telinga sebelah luar disebut anti
tragus. (Suyanto & Wiantoro, 2012).
1.2.4 Gigi Geligi
Rumus
gigi mamalia lengkap dapat digambarkan sebagai berikut:
i 1 i 2
i 3 c p 1 p 2 p 3 p 4 m 1
m 2 m 3
i
1 i 2 i 3 c p 1 p 2 p 3
p 4 m 1 m 2 m 3
Keterangan:
i:
gigi seri; p: geraham depan; c: taring; m: geraham belakang
Anak
bangsa Microchiroptera atau kelelawar pemakan serangga, gigi seri dan geraham
depan mereduksi mulai nomor rendah, sedangkan geraham belakang mereduksi mulai
dari nomor besar. Pada anggota anak bangsa Megachiroptera atau kelelawar
pemakan tumbuhan/buah, gigi seri dan geraham belakang mereduksi dari nomor besar
dan geraham depan yang mereduksi adalah nomor dua (p2).Miniopterus,
anak bangsa Microchiroptera merupakan anggota kelelawar pemakan serangga yang
memiliki rumus gigi
i 2 i 3
c p 3 p 4 m 1 m 2 m 3
…….
i1
i2 i3 c p2 p3 p4 m1
m2 m3
Rousettus,
anak bangsa Megachiroptera merupakan anggota kelelawar pemakan tumbuhan/buah
yang memiliki rumus gigi
i 1 i 2
c p 1 p 3 p 4 m 1 m 2……
i1
i2 c p1 p3 p4 m1 m2
m3
Bentuk
gigi seri yang terbelah juga merupakan salah satu karakter untuk identifikasi,
misalnya gigi seri belah di tengah sehingga terbagi kanan kiri pada gigi seri
Rousettus, ada pula yang terbelah depan dan belakang seperti pada Pipistrellus.
(Suyanto & Wiantoro, 2012).
1.2.5 Ciri Kuantitatif
Ciri
kuantitatif adalah semua ciri yang bisa diukur dengan suatu alat. Biasanya
untuk ukuran panjang dalam satuan milimeter (mm), sedangkan bobot dalam gram.
Pengukuran panjang menggunakan kaliper geser atau kaliper jenis lainnya,
sedangkan bobot dengan timbangan gantung pegas Pesola ataupun timbangan
digital.
Ukuran
Standard Tubuh
-
Panjang badan dan kepala (BK): Diukur
dari ujung hidung sampai anus/pangkal ekor.
-
Panjang ekor (E): Diukur dari
anus/pangkal ekor sampai ujung ekor.
-
Panjang kaki belakang (KB): Diukur dari
tumit sampai ujung jari terpanjang: apabila tidak termasuk cakar disebut
panjang kaki seine unguis atau disingkat su, jika termasuk cakar disebut
panjang kaki belakang cum unguis atau disingkat cu.
-
Panjang lengan bawah (LB): Diukur dari
sisi luar siku sampai dengan sisi luar pergelangan metacarpal pada sayap yang
melengkung.
-
Panjang telinga (T): Diukur dari pangkal
sampai dengan ujung telinga.
-
Bobot (Wt) diukur dengan menggunakan
timbangan gantung pegas dalam gram.
Gambar
Ukuran bagian tubuh luar.
1.2.6 Ukuran Tengkorak
- Panjang
tengkorak total (Pt): Panjang dari occiput, titik paling belakang tengkorak ke
titik terdepan tengkorak pada tengah antara gigi seri pertama atas kanan dan
kiri.
- Panjang
tengkorak condylobasal (cbl): Panjang tengkorak antara titik paling menonjol
pada condylus occipitalis sampai titik terdepan tengkorak pada tengah antara
gigi seri atas pertama kanan dan kiri.
- Panjang
tengkorak condylocaninus (ccl): Panjang tengkorak antara titik paling menonjol
pada condylus occipitalis dan titik terdepan taring atas.
- Baris
gigi rahang atas (ra): Panjang baris
gigi atas dari ujung belakang gigi geraham belakang sampai bagian depan gigi
taring.
- Lebar
geraham belakang (g-g): Lebar melintasi sisi luar geraham belakang.
- Lebar
gigi taring (t-t): Lebar melintasi sisi luar pangkal gigi taring.
Gambar. Ukuran tengkorak.
1.3 Habitat Kelelawar
Menurut Nowak ( 1994),
kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi, kecuali di daerah kutub dan
pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain
itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai
tipe habitat. Menurut Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar
ditemukan di Madagaskar dan Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan
dan Amerika Tengah; 240 jenis ditemukan di Asia dan Australia; dan sekitar 40
spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa. Menurut Suyanto et al. (1998), di
Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh
kepulauan 19 Indonesia. Lebih lanjut
Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan Mamalia paling
berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian
mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl. Winkelmann et al. (2000) meneliti
penggunaan habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di Papua New
Guinea. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan
kelelawar pada suatu habitat ialah 1) struktur fisik habitat, 2) iklim mikro
habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber air, 4) keamanan dari predator, 5)
kompetisi, dan 6) ketersediaan
sarang (Winkelmann
et al. 2000).
1.6
Penurunan Populasi Kelelawar
Pada dekade belakangan ini, populasi kelelawar telah
mengalami penurunan global, kecenderungan terkait dengan kehilangan habitat
(Mickleburgh et al., 2002). Di Asia Tenggara, 20% spesies kelelawar
diperkirakan akan punah pada tahun 2100 (Lane et al., 2006). Walaupun
demikian, kelelawar masih sering terabaikan dalam penilaian keanekaragaman
hayati dan penelitian. Hal ini mungkin karena kelelawar secara luas dianggap
berisiko rendah terhadap kepunahan karena memiliki kemampuan untuk terbang
(Struebig, 2008).
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
1.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu Penelitian
: Jum’at,
9 November 2012
Tempat
Penelitian : Taman
Wisata Alam Telaga Warna, Puncak, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat.
1.2
Alat dan
Bahan
Alat yang
digunakan pada pengamatan ini yaitu senter, untuk mempermudah penglihatan dalam
mengamati kelelawar; kamera, untuk mendokumentasikan kelelawar yang didapat di
lapangan; mistnet, untuk alat penjerat atau menangkap kelelawar;tali rafia,
untuk mengikat missnet pada pohon;alat tulis dan buku, digunakan untuk mencatat
data kelelawar yang diperoleh; jangka sorong, untuk mengukur panjang badan,
tangan kelelawar
Bahan yang
digunakan dalam pengamatan ini tidak ada, karena pengamatan ini hanya melakukan
pemasangan perangkap yaitu mistnet untuk menangkap kelelawar.
1.3 Metode
Metode yang digunakan dalam
pengamatan kelelawar di Taman Wisata Alam Telaga Warna adalah teknik survei
dengan cara observasi atau pengamatan langsung di lapangan dan menggunakan alat
perangkap mistnet.
1.4 Prosedur
Kerja
Pertama pengumpulan data
dilakukan dengan cara pemasangan jaring kabut yang diletakkan di tempat yang
sudah dipertimbangkan menjadi tempat-tempat yang menjadi jalur terbang
kelelawar. Tempat-tempat yang menjadi jalur terbang pada : kebun masyarakat
(kebun teh) dan pada daerah yang agak sedikit terbuka (sekitar penginapan).
Jaring kabut yang digunakan untuk menangkap kelelawar sebanyak 2 jaring yang
direntangkan dengan menggunakan tali yang diikat pada batang pohon yang ada di
sekitar lokasi pemasangan jaring kabut.
Jaring kabut dipasang mulai
pukul 18.00 – 18.30 WIB lalu dibiarkan selama 1 malam atau sampai ada kelelawar
yang terperangkap. Kelelawar yang tertangkap diidentifikasi dengan cara
memegang tubuh sampel dengan posisi sayap dalam keadaan tertutup, lalu lehernya
dijepit dengan lembut menggunakan jari telunjuk dan ibu jari agar terhindar
dari gigitan, selanjutnya dilakukan identifikasi jenis kelamin, pengukuran dan
pencatatan data variabel pengamatan antara lain, Panjang Ekor (E) diukur dari
pangkal ekor hingga ujung ekor tidak termasuk bulu atau rambut panjang yang
memanjang melebihi ekor, Panjang Tibia/ betis (Bet) dikur dari lutut sampai
pergelangan kaki, Panjang Telinga (T) diukur dari bagian dasar tekik atau lekuk
dekat pangkal telinga sampai ujung, Bentang Sayap (BS) diukur dengan cara
membentangkan sayap kelelawar lalu diukur dengan mengukur ujung sayap terluar
pada salah satu sisi sampai pada ujung sayap terluar sisi yang lain, Panjang
Lengan Bawah (LB) diukur dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan
tangandan Panjang Kaki (K). Selanjutnya sampel difoto dan dilepaskan lagi ke alam.
1.4.1
Analisis Data
Analisis data secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar
spesimen.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1
Data Kelelawar
Gambar
|
Keterangan
|
Dokumentasi pribadi
|
-
Jenis kelamin :
jantan
-
Panjang Tibia : 2, 2
cm
-
Panjang Kaki : 1, 7 cm
-
Panjang Telinga : 1,
37 cm
-
Panjang Ekor : 0, 5 cm
-
Panjang Sayap : 17, 23 cm
-
Panjang LB : 6, 6 cm
Karakteristik
-
Pemakan buah
-
Mempunyai mata yang besar
-
Mempunyai hidung yang
kecil
-
Tidak mempunyai tragus
(Pteropodidae)
-
Mempunyai cakar
-
Mempunyai gigi seri atas
dan bawah masing-masing 4 buah
-
Mempunyai ekor
-
Mempunyai gigi geraham
atas 3 atau > 3
-
Termasuk ke dalam Genus Cynopterus sp
-
Mempunyai telinga dengan garis
putih.
|
Setelah pemasangan perangkap mistnet sebanyak 2 buah
pada dua lokasi yang berbeda yaitu di perkebunan teh dan di sekitar penginapan
/ homestay didapatkan 1 kelelawar yang terperangkap di mistnet sekitar
penginapan. Kelelawar yang tertangkap perangkap mistnet di Telaga Warna
termasuk ke dalam Subordo kelelawar Megachiroptera dan termasuk Genus Cynopterus sp dengan ciri-ciri dan data
ukuran tubuh yang dapat dilihat pada tabel 4.1.
Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya
adalah buah (frugivora), selain itu
juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini terdiri atas 1 famili,
yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak, 1994). Menurut
Altringham (1996) anggota subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang relatif
besar (bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan bentangan sayap maksimum
1700 mm); memiliki mata besar dan kemampuan melihat yang berkembang dengan baik;
telinga tidak memiliki tragus; moncong sederhana dan ekor tidak berkembang;
jari kedua dan jari ketiga terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari
jari kedua, kecuali pada Eonycteris,
Dobsonia, dan Neopterix. Megachiroptera berukuran sedang sampai besar, memiliki
panjang lengan bawah 36 – 228 mm, dan berat tubuhnya mencapai 10 gram sampai
dengan lebih dari 1500 gram. Kelelawar dari jenis ini tidak memiliki kemampuan
ekolokasi yang bagus, hanya seperseribu energi suara yang dihasilkan oleh
kelelawar pemakan serangga terbang dan ikan (Walker, 1983).
Klasifikasi Kelelawar Megachiroptera yang ditemukan
menurut Corbert & Hill (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Chiroptera
Subordo : Megachirptera
Famili : Pteropodidae
Genus :
Cynopterus
Spesies :
Cynopterus sp Dokumentasi pribadi
Menurut Nowak (1994), kelelawar ditemukan di seluruh
permukaan bumi, kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan
terbang kelelawar merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain
itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai
tipe habitat. Menurut Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar
ditemukan di Madagaskar dan Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan
dan Amerika Tengah; 240 jenis ditemukan
di Asia dan Australia; sekitar 40 spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa.
Menurut Suyanto et al. (1998), di
Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di
seluruh kepulauan Indonesia.
Kelelawar di kawasan Taman Wisata Alam Telaga Warna
termasuk banyak tetapi yang terperangkap pada mistnet hanya 1 ekor karena
mistnet yang dipasang di perkebunan teh kurang strategis dan jarang dilalui
oleh kelelawar. Banyaknya kelelawar yang ada di Taman Wisata Alam Telaga Warna
karena tercukupi semua kebutuhan pakan bagi kelelawar yang terdapat pada
pohon-pohon buah yang terdapat disana.
Kelelawar merupakan hewan nocturnal yang mempunyai peran ekologi sangat penting. Kelelawar Megachiroptera
memiliki anggota jenis yang sebagian besar memilih buah sebagai makanannya, dan
beberapa jenis yang lain mengkonsumsi nectar
atau polen, berperan penting dalam
membantu penyebaran biji (seed dispersal)
yaitu dengan cara mengambil buah dari suatu tempat, memakan daging buahnya di
tempat yang berbeda dan membuang biji dari buah tersebut. Sebagian biji ikut
termakan dan masuk ke dalam sistem pencernaan. Proses pencernaan makanan dalam
tubuh kelelawar berlangsung dalam waktu singkat, sehingga kadang-kadang
kelelawar juga membuang kotoran sambil terbang. Biji-bijian yang dikeluarkan
bersama kotoran kelelawar ini kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Apalagi
didukung oleh kemampuan terbangnya yang cukup jauh, maka kelelawar dapat berperan
sebagai hewan yang paling efektif dalam menyebarkan biji.
Dalam konteks pemulihan ekosistem hutan dan
kelestarian keanekaragaman tumbuhan, kelelawar memainkan peranan yang sangat
penting pada proses regenerasi hutan.
Selain menyebarkan biji Megachiroptera juga membantu
penyerbukan bunga pada berbagai jenis tumbuhan. Aktivitasnya sebagai pemakan
nektar atau serbu sari ini secara tidak langsung dapat membantu penyerbukan
beberapa jnis tumbuhan. Seperti kita ketahui bahwa di alam ini ada beberapa
jenis tumbuhan yang tidak bisa menyerbuk sendiri, tetapi memerlukan bantuan
seperti manusia, angin, serangga dan hewan lainnya. Jenis-jenis tumbuhan yang
penyerbukannya dibantu oleh kelelawar adalah durian, pisang, petai, kapok dan
lain-lain. Sampai saat ini diketaui paling sedikit 150 jenis tumbuhan yang
proses penyerbukannya dibantu oleh kelelawar sehingga kelelawar mampu memegang
“peran kumci” dalam sebuah komunitas hutan.
Meskipun
kelelawar mempunyai peran yang sangat membantu manusia, kadang-kadang manusia
itu sendiri tidak menyadari bahwa kelelawar memiliki peran penting dalam
kehidupannya. Selain Megachiroptera ada juga Microchiroptea yang berperan
sebagai pengendali hayati yaitu kelelawar pemakan serangga yang umumnya menjadi
hama tanaman. Selain peran-peran penting bagi manusia, kelelawar juga mempunyai
manfaat/ kelebihan lain yaitu guano. Guano adalah kotoran kelelawar yang dapat
dijadikan pupuk karena kandungan Nitrogen di dalamnya yang tinggi dan baik
untuk tanaman.
Mengingat pentingya peran dan fungsi kelelawar pada
suatu ekosistem sudah seharusnya kita
sebagai manusia menjaga dan melestarikan keeberadaannya yang merupakan hal
penting untuk menjaga keberlanjutan suatu ekosistem sehingga memberikan
keuntungan bagi manusia.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.
Jenis
kelelawar yang didapatkan di Taman Wisata Alam Telaga Warna adalah
Megachiroptera dan termasuk Genus Cynopterus
sp
2.
Morfologi
kelelawar Megachiroptera yang didapat dengan mistnet adalah tidak mempunyai
tragus,hidung kecil, bermata besar, mempunyai cakar, mempunyai ekor dan pemakan
buah.
3.
Peranan
kelelawar di dalam ekosistem khususnya Megachiroptera adalah sebagai polinator
bagi tumbuhan, membantu penyebaran biji dan
memegang peran penting dalam ekosistem hutan.
5.2 Saran
Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut mengenai
manfaaat kelelawar bagi ekosistem. Dilakukan metode yang lebih efektif dalam
pengamaan kelelawar agar hasil penelitian lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Akcakaya, H.R.,
M.A. Brugman, O. Kindval, C.C. Wood, P.S. Gulve, J.S. Hatfield,M.A. McCarthy.
2004. Species Conservation and Management. Oxford
University Press.
Alle,
W. C. & K.P. Schmidt. 1963. Ecological
Animal Geography 2nd ed. John Willey and Sons Inc. London.
Allen, G. M.
1938. The mammals of China and Mongolia. Natural history of Central Asia,
Vol. XI, part 1. AMNH, New York.
Altringham, J.D.
1996. Bats: Biology and Behaviour. Oxford University Press. Oxford.
Azlan M, I Maryanto,
and AP Kartono. 2003. Diversity, relative abundance and conservation of
chiropterans in Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. In:
A Mardiastuti and T Soehartono, editor. Join Biodiversity Expedition
in Kayan Mentarang National Park. Ministry of Forestry-WWF-Indonesia-ITTO.
Jakarta.
Bates, P. J. J.,
D. L. Harrison. 1997. Bats of the Indian Subcontinent. Sevenoaks: Harrison
Zoological Museum.
Begon, M., C. R.
Townsend, J. L. Harper. 2005. Ecology: from Individuals to Ecosystems. Blackwell
Publishing United Kingdom.
Bernard, E. Dan
M.B. Fenton. 2002. Species diversity of bats (Mammalia: Chiroptera) in forest
fragments, primary forests, and savannas in Central Amazonia, Brazil. Canadian
Journal of Zoology 80: 1124–1140.
Bierregaard,
R.O., T.E. Lovejoy, V. Kapos, A.A. dos Santos, and R.W. Hutchings. 1992. The
biological dynamics of tropical rainforest fragments. Bioscience
42:859-866.
Borissenko,
A.V., S.V. Kruskop, E.V.Dorokhina. 2001. The Bats (Chiroptera, Mammalia) of
the Vu Quang Nature Reserve: community structure and ecomorphological patterns.
— Pp. 190–215. In: Materials of zoological and botanical studies in Vu
Quang Nature Reserve (Ha Tinh Province,Vietnam), Moscow–Hanoi.
Borissenko, A.V.
and Kruskop, S. V. 2003. Bats of Vietnam and AdjacentTerritories and
Identification Manual. Joint Russian-Vietnamese Science and TechnologicalTropical
Centre Zoological Museum of Moscow M. V. Lomonosov State University
Moscow.
Findley,
J. S. 1993. Bats a community perspective.
Cambridge University Press. New York.
Hill,
J. E. & J.D. Smith. 1984. Bats A
Natural History. British Museum (Natural History) Cromwell Road. London.
Johnston,
D. 2002. Data Collection Protocol Yuma
Bat (Myotis yumanensi) in Wetlands Regional Monitoring Program Plan 2002.
United States.
Matthew
J, Struebig MJ, Kingston T, Zubaid A, Moh-Adnan A, Rossiter SJ. 2008.
Conservation value of forest fragments topaleotropical bats. Biol. Conserv. 141 (8):2112-2126.
Nowak,
K. M. 1995. Walker’s Bat of the World. John
Hopkins University Press, Baltimore nad London.
Suyanto,
A. 2001. Kelelawar Di Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Bogor.
Walker.
1983. Mammal’s of The World, Fourth
edition, vol I. The John Hopkins University Press. Baltimore. London.
Yaap
B, Struebig MJ, Paoli G, Koh LP. 2010. Reviewing
Mitigating The Biodiversity Impact Of Oil Palm Development. CAB Reviews:
Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural
Resources 2010, No. 019 1-12.
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
0 komentar:
Posting Komentar