Mengenai Saya

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
just an ordinary girl with complicated mind.
Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Pengikut

Sabtu, 08 Juni 2013

LAPORAN PRAK EKTER STRUKTUR DAN KOMPOSISI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN


STRUKTUR DAN KOMPOSISI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
Aldha Rizki Utami1), Gita Najla Aldila1), Arman Gaffar1), Rima Suciyani1), Azkiya Banata1), Annisa Maulida1), Udi Rafiudin1)

Mardiansyah, M.Si2), Dina Anggraini, S.Si2)
Muhammad Fazri Hikmatyar3)

1)Mahasiswa Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2)Dosen Praktikum Ekologi Terestrial
3)Assisten Praktikum Ekologi Terestrial

17 April 2013

ABSTRACT
This observation aims to find out how to perform sampling on plant community, identify the type of plant on site sampling, measuring the diversity of plant species in the sampling location, measure the health factors of soil, soil fauna diversity and knowing the relationship between the causal factors of soil health with diversity of fauna. Observations of terrestrial biodiversity community has done to get the results that are presented in the form of tables and the data analyzed with different Diversity Index (H, D, , λ , N1, N2, and E). Based on table 1. Plant species Diversity index value on the observation plot measuring 2 m x 2 m belongs to medium-high. The plant species diversity of medium-high this was likely caused by biotic and abiotic constraints that support plant life itself. Observations of the Bioindicator land plot observations of 30 cm x 30 cm to get the results that have been analyzed with the index Simpson (λ) and the Shannon-Wiener Index (λ) are presented in table 2. Based on table 2. The value of diversity Index of Makrofauna with the Shannon-Wiener was very low because the value of H and λ the value of 0.49 and the dominance of makrofauna was the dominance of most termites high i.e. 0.3. The Simpson index value (λ) based on table 2. belongs to the medium. Observation on the relationship of soil makrofauna with plant species diversity obtained data presented in the form of a histogram can be seen in Picture 3. The relationship H Makrofauna H soil and Plants based on Figure 3. the higher the value of H makrofauna land then the higher was also the curve on the value of H plants. The value of H' plants are top with a value of H’ 1,454 and value of H makrofauna of  0.67. Observations of the galore types of makrofauna to get the results that are presented in the form of histograms, can be seen in Picture 4 based on Picture 4. The family of animals most frequently found is the family of annelids which is an earthworm with an individual quantity of 16. While the fewest are the lice, termites, crustaceae, centipedes and larvæ mollusca with a number of individuals 1. An observation that has been done this conclusions may be drawn that is the diversity of species of plants strongly influenced by bioindikator the ground ( makrofauna soil ). Makrofauna the ground is very influential and can be used as bioindikator health / soil fertility. Factors that affect the health of the land was the texture of land, hara, the availability of aëration, and the ability to bind the ground. Viewed as the living space, land where factors, in addition to physical and chemical life jasad-jasad makro and micro in the ground should be able to support plant life. All the components interact and interconnected form their own ecosystem terrestrial good for living things.

Keywords: community terrestrial, biodiversity, bioindicator land, the diversity of species, land macrofauna

ABSTRAK

Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui cara melakukan sampling pada komunitas tumbuhan, mengidentifikasi jenis tumbuhan di lokasi sampling, mengukur keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi sampling, mengukur faktor-faktor kesehatan tanah, mengetahui keanekaragaman fauna tanah dan mengetahui hubungan sebab akibat antara faktor kesehatan tanah dengan keanekaragaman fauna. Pengamatan biodiversitas komunitas terestrial yang sudah dilakukan mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk tabel dan data dianalisis dengan Indeks Keanekaragaman yang berbeda-beda (H’, D, λ, N1, N2 dan E). Berdasarkan tabel 1. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan pada plot pengamatan yang berukuran 2 m x 2 m tergolong sedang-tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang sedang-tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik yang mendukung kehidupan tumbuhan itu sendiri. Pengamatan Bioindikator tanah pada plot pengamatan 30 cm x 30 cm mendapatkan hasil yang telah dianalisis dengan Indeks Simpson (λ) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) yang disajikan dalam bentuk tabel 2. Berdasarkan tabel 2. Nilai keanekaragaman jenis Makrofauna dengan Indeks Shannon-Wiener tergolong sangat rendah karena nilai H’ < 1 yaitu 0,49 dan nilai dominansi jenis makrofauna adalah rayap dengan nilai dominansi paling tinggi yaitu 0,3. Nilai Indeks Simpson (λ) berdasarkan tabel 2. tergolong sedang. Pada pengamatan hubungan makrofauna tanah dengan keanekaragaman jenis tumbuhan didapatkan data yang disajikan dalam bentuk histogram yang dapat dilihat pada Gambar 3. Hubungan H’ Makrofauna Tanah dan H’ Tumbuhan berdasarkan Gambar 3. semakin tinggi nilai H’ makrofauna tanah maka semakin tinggi juga kurva pada nilai H’ tumbuhan. Nilai H’ tumbuhan berada paling atas dengan nilai sebesar 1,454 dan nilai H’ makrofauna sebesar 0,67. Pengamatan kelimpahan jenis makrofauna mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk histogram, dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4. Famili hewan yang paling banyak ditemukan adalah Famili Annelida yaitu cacing tanah dengan jumlah individu 16. Sedangkan yang paling sedikit adalah kutu, rayap, crustaceae, larva kelabang dan mollusca dengan jumlah individu 1. Pengamatan yang telah dilakukan ini dapat ditarik kesimpulan yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan sangat dipengaruhi oleh bioindikator tanah (makrofauna tanah). Makrofauna tanah sangat berpengaruh dan dapat dijadikan sebagai bioindikator kesehatan/ kesuburan tanah. Faktor yang mempengaruhi kesehatan tanah adalah tekstur tanah, ketersediaan hara, aerasi, dan kemampuan mengikat tanah.  Tanah dipandang sebagai tempat kehidupan, dimana selain faktor fisik dan kimia, kehidupan jasad-jasad makro dan mikro di dalam tanah harus mampu mendukung kehidupan tanaman. Semua komponen tersebut berinteraksi dan saling berkaitan membentuk ekosistem terestrial yang baik bagi makhluk hidup.

Kata kunci : Komunitas terestrial, biodiversitas, biondikator tanah, keanekaragaman jenis, makrofauna tanah

PENDAHULUAN


Komunitas terestrial adalah kelompok organisme yang terdapat di pekarangan, di hutan, di padang rumput, di padang pasir, dan lain-lain. Biodiversitas pada komunitas terestrial dapat dijadikan sebagai tolak ukur mengenai kondisi suatu ekosistem terestrial. Pada komunitas terestrial juga terdapat bioindikator tanah yaitu makrofauna tanah. Makrofauna tanah disini berperan penting dalam membuat kondisi tanah layak untuk tumbuhan. Contohnya menyuburkan tanah, menggemburkan tanah dan sebagai detrivor atau organisme pengurai. Komponen makrofauna ini bila dilihat dari perannya berperan sangat penting bagi ekosistem terestrial. Bila salah satu komponen ini terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen lainnya.  Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa makrofauna berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga kestabilan ekosistem terestrial.
Ekosistem terestrial tidak boleh rusak karena ekosistem ini yang akan menunjang kehidupan manusia, seperti daerah penyimpan air dan juga sebagai habitat banyak makhluk hidup. Maka sudah sewajarnyalah fungsi itu tetap kita pertahankan setinggi mungkin. (Cox, 1972)
Makrofauna tanah merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang diduga mengalami penurunan yang tajam sebagai akibat dari pencemaran lingkungan pada tanah. Oleh karena itu adanya pencemaran mempengaruhi keadaan lingkungan pada umumnya dan keanekaragaman makrofauna tanah pada khususnya. Makrofauna tanah memiliki arti penting pada ekosistem terestrial. Pada ekosistem pertanian, makrofauna tanah berperan dalam pemeliharaan sifat fisika, kimia dan biologi tanah, terutama sebagai dekomposer dan ‘soil engineer’ sehingga dapat meningkatkan produktivitas suatu tumbuhan. (Makalew, 2001).


Penurunan keanekaragaman makrofauna tanah mngakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan komunitas sehingga dapat menimbulkan dominansi spesies-spesies tertentu yang umumnya berpotensi sebagai hama tanaman (Fragoso et al., 1997; Baker, 1998). 
           
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui cara melakukan sampling pada komunitas tumbuhan, mengidentifikasi jenis tumbuhan di lokasi sampling, mengukur keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi sampling, mengukur faktor-faktor kesehatan tanah, mengetahui keanekaragaman fauna tanah dan mengetahui hubungan sebab akibat antara faktor kesehatan tanah dengan keanekaragaman fauna.

 MATERI DAN METODE
            Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 10 April 2013 mulai pukul 13.00 – 16.00 WIB di Semanggi, Ciputat dan analisis data dilakukan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi pada pengamatan biodiversitas komunitas terstrial  dan metode hand sorting pada pengamatan bioindikator tanah.

Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tali rafia, patok, label, alat ukur/ meteran, pH indikator, soil tester, termometer tanah, luxmeter, sekop atau cangkul, pisau, plastik atau botol sampel dan pinset.           Bahan yang digunakan meliputi faktor biotik (suhu, intensitas cahaya, tanah) dan abiotik yang akan diukur (fauna tanah dan tumbuhan)

Prosedur Kerja
Biodiversitas Komunitas Terestrial
            Pertama yang dilakukan adalah ditentukan lokasi sampling, lalu dibuat plot dengan ukuran 2 m x 2 m pada tali rafia kemudian dibuat menyilang. Tali rafia diikatkan pada patok. Dibuat plot kecil dalam plot besar dengan ukuran 30 cm x 30 cm. Ditandai tiap plot lalu dihitung tumbuhan apa saja yang terdapat pada plot, kemudian dicatat jenis tumbuhan, jumlah individu tumbuhan dan diidentifikasi tumbuhan tersebut. Setelah semua jenis tumbuhan dihitung dan diidentifikasi, diukur faktor fisik pada plot meliputi intensitas cahaya, suhu udara, suhu tanah, pH tanah dan kelembaban tanah. Setelah data didapatkan kemudian dianalisis dengan indeks Shannon-Wiener, Simpsons, Hill’s 1 dan 2 dan Margalef.

Biondikator Tanah
            Pada pengmatan bioindikator tanah dibuat lubang dengan kedalaman 30 cm pada plot kecil yang berukuran 30 cm x 30 cm. Lubang dibuat menggunakan cangkul atau sekop. Setiap organisme/ hewan tanah yang terlihat dicatat dan diidentifikasi. Data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan rumus Indeks Shannon-Wiener dan Indeks Simpson.

Analisis Data
            Pada praktikum ini data yang didapatkan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Analisis data yang digunakan untuk menghitung indeks Keanekaragaman Jenis pada Biodiversitas Komunitas Terestrial adalah dengan Indeks Margalef (D), Indeks Shannon-Wiener (H’), Indeks Mc Artur (N1), Indeks Hill’s (N2), Indeks Evennes (E).

D = (S -1)/ ln N
H’ = (S – 1)/ln N
N1 = eH’
N2 = 1/ λ

Keterangan : ni   =  Jumlah jenis ke-i
S    = Jumlah jenis
N   = Jumlah individu seluruh jenis
Pi = Proporsi antara jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah individu seluruh jenis.

Pada bioindikator tanah analisis data dilakukan dengan Indeks Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Simpson (S).

H’ = - ∑ (Pi) (log Pi)
S = 1 - ∑ ni (ni-1)/ N(N-1)

Keterangan :    D = Dominansi
n = Jumlah individu dari masing- masing spesies
N = Jumlah total individu dari semua spesies
           
HASIL
            Pengamatan struktur dan komposisi makrofauna tanah sebagai bioindikator keanekaragaman jenis tumbuhan ini mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk grafik dan tabel sebagai berikut.

Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Famili
Jumlah individu
Indeks
Nilai
Araceae
2
H'
1,198263
Cucurbitaceae
52
D
0,800446
Poaceae
55
E
0,744
Amarantaceae
37
N1
3,28
Asteraceae
2
N2
1,44
Total :
148
Λ
0,689

            Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan yang terdapat pada Tabel 1. Keanekaragaman jenis pada berbagai Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan tergolong sedang-tinggi.

Tabel 2. Keanekaragaman Jenis Makrofauna

            Berdasarkan Tabel 2. Keanekaragaman jenis makrofauna yang ditemukan tergolong rendah karena nilai H’ < 1 dan nilai dominansi jenis makrofauna adalah rayap dengan nilai dominansi paling tinggi yaitu 0,3. Nilai Indeks Simpson (λ) berdasarkan tabel 2. tergolong sedang.


Gambar 3. Hubungan H’ Makrofauna dan H’ Tumbuhan
            Berdasarkan Gambar 3. Semakin tinggi nilai H’ makrofauna tanah maka semakin tinggi juga kurva pada nilai H’ tumbuhan. Nilai H’ tumbuhan berada paling atas dengan nilai sebesar 1,454 dan nilai H’ makrofauna sebesar 0,67.

Gambar 4. Kelimpahan Jenis Makrofauna Tanah
            Berdasarkan Gambar 4. Famili hewan yang paling banyak ditemukan adalah Famili Lumbricidae yaitu cacing tanah dengan jumlah individu 16. Sedangkan yang paling sedikit adalah Aphididae, Achatinidae, crustaceae, larva, dan Lucanidae dengan jumlah individu 1.

PEMBAHASAN
            Praktikum kali ini mengamati struktur dan komposisi makrofauna tanah sebagai bioindikator keanekaragaman jenis tumbuhan. Makrofauna sangat berkaitan dengan biodiversitas komunitas terestrial yang dilihat disini adalah tumbuhan. Berdasarkan Gambar 3. Dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai H’ makrofauna maka nilai H’ tumbuhan juga semakin naik.
            Makrofauna tanah adalah fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. peranan terpenting dari makrofauna tanah di dalam ekosistemnya adalah sebagai perombak bahan organik yang tersedia bagi tumbuhan hijau. makrofauna tanah juga dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah. Semakin subur suatu tanah maka semakin banyak tumbuhan yang hidup dan akan semakin banyak pula jenisnya (biodiversitas komunitas terestrial) (Foth, 1994).
            Peran makrofauna tanah lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan yang mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke dalam tanah, perbaikan struktur tanah, dan proses pembentukan tanah. Dengan demikian makrofauna tanah berperan aktif untuk menjaga kesuburan tanah atau kesehatan tanah (Adianto, 1993; Foth, 1994).
            Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna
tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan merombak substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Secara umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada tanah yang tidak terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinyu. Arief (2001), menyebutkan, terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%. Mesofauna tanah akan merombak bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief, 2001).
            Makrofauna adalah hewan yang mempunyai ukuran tubuhnya berkisar antara 2 – 20 mm, yang terdiri dari hebivora (pemakan tanaman), dan karnivor (pemakanhewan kecil). Contohnya Arthropoda yaitu Crustacea seperti kepiting, Chilopoda seperti kelabang, Diplopoda kaki seribu, Arachnida seperti labalaba, kalajengking, dan serangga (Insecta), seperti kelabang, kumbang, rayap, lalat, jangkrik, lebah, semut, serta hewan-hewan kecil lain yang bersarang dalam tanah (Hanafiah, 2006).
            Berdasarkan Tabel 2 Keanekaragaman jenis makrofauna yang terdapat pada plot memiliki nilai H’ yang tergolong keanekaragaman jenis rendah yaitu 0,493. Nilai H’ bertujuan untuk mengetahui derajat keanekaragaman suatu ekosistem dalam suatu ekosistem. Parameter yang menentukan nilai indeks keanekaragaman (H’) pada suatu ekosistem ditentukan oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif pada suatu komunitas (Sugiyarto, 2003). Rendahnya nilai keanekargaman jenis makrofauna yang rendah ini kemungkinan diakibatkan pencemaran dan faktor abiotik pada tanah itu sendiri yang tidak mendukung untuk hidup makrofauna itu sendiri. Keanekaragaman fauna berperan penting dalam menjaga kestabilan ekosistem, hal ini di pengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor biotik meliputi (tumbuhan dan hewan), faktor abiotik (antara lain air, tanah, udara, cahaya, dan keasaman tanah) (Dindal, 1990).
Faktor lingkungan berperan sangat penting dalam menentukan berbagai pola penyebaran fauna tanah. Faktor biotik dan abiotik bekerja secara bersama-sama dalam suatu ekosistem, menentukan kehadiran, kelimpahan, dan penampilan organisme.(Purwanti, 2003)
Besarnya indeks dominansi jenis makrofauna pada lokasi pengamatan tersaji pada Tabel 2. Besarnya indeks dominansi menunjukkan tingkat dominansi suatu jenis pada suatu tempat. Dominansi jenis makrofauna yang tertinggi adalah rayap dengan nilai dominansi 0,3, sedangkan nilai dominansi terendah adalah kelabang dan larva. Rayap adalah serangga sosial anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama penting kehidupan manusia, meskipun begitu dalam ekosistem terestrial rayap sangat berperan dalam kesuburan tanah. Rayap bersarang di dan memakan kayu perabotan atau kerangka rumah sehingga menimbulkan banyak kerugian secara ekonomi. Rayap masih berkerabat dengan semut, yang juga serangga sosial. Dalam bahasa Inggris, rayap disebut juga “semut putih” (white ant) karena kemiripan perilakunya (Elzinga, 1979) Sedikitnya nilai dominansi larva dan kelabang kemungkinan karena hewan-hewan tersebut hidup pada kedalaman > 30 cm dan adanya faktor pembatas yaitu air, sehingga jumlah yang ditemukan pada lokasi pengamatan tergolong sedikit. Nilai Indeks Simpson (λ) berdasarkan tabel 2. sebesar 0,6 dan tergolong sedang menurut  Odum, (1975).

            http://antirayap-ravthor.com/image/Macrotermes%20sp2.jpg
Gambar 5. Rayap
(Sumer : antirayap-ravthor.com)

            Berdasarkan Gambar 4. Kelimpahan jenis makrofauna yang tertinggi oleh hewan Famili Lumbricidae yaitu cacing tanah dengan jumlah individu 16. Selain rayap, cacing (Annelida) juga sangat berperan dalam menyuburkan tanah. Morfologi cacing tanah adalah cacing yang tubuhnya beruas-ruas dengan seta di bagian luar tubuhnya. Keunikan ruas pada cacing ini adalah setiap ruas memiliki morfologi dan anatomi yang sama  sehingga disebut dengan istilah metameri. Cacing disini berperan sebagai penggembur tanah. Jumlah cacing tanah yang banyak ini disebabkan cacing tanah hidup di habitat alami, cacing tanah hidup dan berkembang biak dalam tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan cacing tanah dihabitat alami adalah suhu atau temperatur tanah yang ideal untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasankokonnya berkisar antara 15 ºC – 25 ºC. Suhu tanah yang lebih tinggi dari 25 ºC masih cocok untuk cacing tanah, tetapi harus diimbangi dengan kelembapan yang memadai dan naungan yang cukup. Oleh karena itu, cacing tanah biasanya ditemukan hidup dibawah pepohonan atau tumpukan bahan organik. Data faktor fisik yang kami dapatkan yaitu suhu tanah adalah 23ºC, suhu ini masih baik untuk pertumbuhan cacing tanah. Kelembapan tanah mempengaruhi pertumbuhan dan daya reproduksi cacing tanah. Kelembapan tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembapan tanah tarlalu kering, cacing tanah akan segera masuk kedalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya akan mati. Cacing tanah tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada tanah yang bereaksi sedikit asam sampai netral. Keasaman tanah (pH) yang ideal untuk cacing tanah adalah pH 6 – 7,2. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas. Di samping itu, tanah yang ber pH asam kurang mendukung proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Bahan organik umumnya mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral, sehingga merupakan pakan utama cacing tanah. Bahan organik tanah dapat berupa kotoran ternak, serasah atau daun-daun yang gugur dan melapuk, dan tanaman atau hewan yang mati. Makin kaya kandungan bahan organik dalam tanah, makin banyak dihuni oleh mikroorganisme tanah, termasuk cacing tanah. Cacing tanah dapat mencerna bahan organik seberat badannya, bahkan mampu memusnahkan bahan organik seberat 2 kali lipat berat badannya selama 24 jam. Oleh karena itu, cacing tanah yang hidup dalam tanah yang kaya bahan organik dapat berfungsi sebagai pemusnah bahan organik (dekomposer), dan kascingnya berguna untuk pupuk organik penyubur tanah (Elzinga, 1979)

http://gurungeblog.files.wordpress.com/2008/11/worm_lumbricus.jpg
Gambar 6. Cacing tanah
(Sumber : gurungeblog.wordpress.com)

            Gambar 4. menunjukkan Famili hewan yang paling banyak ditemukan adalah Famili Lumbricidae yaitu cacing tanah dengan jumlah individu 16. Sedangkan yang paling sedikit adalah Aphididae, Achatinidae, crustaceae, larva, dan Lucanidae dengan jumlah individu 1. Sedikitnya jumlah makrofauna dengan jumlah individu 1 ini kemungkinan disebabkan adanya faktor pemabatas. Faktor pembatas disini berupa air, setiap digali tanah pada plot selalu keluar air. Ini disebabkan karena lokasi pengamatan terletak dekat dengan sungai yang hanya berjarak beberapa meter saja dari plot pengamatan.
Berdasarkan Tabel 1. Keanekaragaman jenis tumbuhan, nilai keanekaragamannya tergolong sedang dengan nilai H’ sebesar 1,19. Data hasil biodiversitas komunitas terestrial yang dilakukan maka indeks kemerataan jenis (E) pada berbagai jenis pertumbuhan di lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 1. Menurut Indeks keanekaragaman Shannon Wienner dijelaskan dengan pendekatan indeks kemerataan Evenness (E) yang besarnya antara 0–1 (Ludwig & Reynold, 1988). Indeks kemerataan menggambarkan tingkat kemerataan populasi suatu jenis tumbuhan yang diperoleh dengan membagi nilai keanekaragaman dengan jumlah jenis yang ditemukan. Indeks kemerataan jenis tumbuhan di lokasi pengamatan tergolong cukup merata dengan nilai E sebesar 0,744. Bila nilai indeks kemerataan tinggi, menandakan kandungan setiap taxon (jenis) tidak mengalami perbedaan.
            Data hasil biodiversitas komunitas terestrial yang dilakukan maka indeks keanekaragaman jenis tumbuhan / Margallef (D) pada berbagai jenis tumbuhan di lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 1. Dilihat dari nilai D maka keanekaragaman jenis tumbuhan pada lokasi pengamatan tergolong rendah dengan nilai D sebesar 0,8. Menurut Jorgensen (2005), nilai D > 2,5 menunjukkan keanekaragaman jenis tumbuhan pada plot pengamatan tergolong rendah.
            Indeks Mc Artur dan Indeks Hill’s (N1 dan N2) berdasarkan Tabel 1. Masing-masing mempunyai nilai sebesar 3,28 dan 1,44. N2 adalah jumlah species yang paling melimpah dan N1 adalah jumlah species yang melimpah (N1 selalu diantara N0 dan N2). Nilai N2 yang > 1 ini menunjukkan bahwa melimpahnya/ keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi pengamatan tergolong melimpah. Nilai N1 umumnya memang lebih besar dari N2 dan ini menunjukkan hal yang sama seperti halnya N2, yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan di daerah tersebut tergolong melimpah.
            Indeks Simpson (λ) pada tabel 1. Mempunyai nilai 0,68. Berdasarkan kriteria untuk tumbuhan, apabila indeks keanekaragaman Simpson lebih kecil dari 0,6, menunjukkan bahwa telah terjadi perturbasi (gangguan) terhadap kehidupan tumbuhan (Odum, 1995). Faktor utama yang mempengaruhi jumlah organisme, keragaman jenis dan dominansi antara lain adanya perusakan habitat alami seperti pengkonversian lahan, pecemaran kimia dan organik, serta perubahan iklim (Sari, 2003). Nilai Indeks Simpson (λ) tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman tumbuhan di lokasi pengamatan tergolong sedang.
            Menurut Indeks Keanekaragaman yang sudah dianalisis, semua Indeks menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi pengamatan yaitu Semanggi tergolong rendah-tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang tergolong sedang-tinggi ini didukung oleh faktor biotik dan abiotik yang ada, seperti intensitas cahaya, kelembaban tanah, suhu udara, suhu tanah, pH tanah dan makrofauna sebagai organisme pengurai yang dapat menyuburkan tanah. Faktor yang sangat berpengaruh pada kesehatan dan kesuburan tanah adalah tekstur tanah, ketersediaan hara, aerasi, dan kemampuan mengikat tanah.  Sedangkan ditinjau dari sudut kesehatan  tanah, tanah dipandang sebagai tempat kehidupan, dimana selain faktor fisik dan kimia seperti tersebut di atas, kehidupan jasad-jasad makro dan mikro di dalam tanah harus mampu mendukung kehidupan tanaman.
Kesimpulan dari pengamatan ini adalah keanekaragaman jenis tumbuhan sangat dipengaruhi oleh bioindikator tanah (makrofauna tanah). Makrofauna tanah sangat berpengaruh dan dapat dijadikan sebagai bioindikator kesehatan/ kesuburan tanah. Faktor yang mempengaruhi kesehatan tanah adalah tekstur tanah, ketersediaan hara, aerasi, dan kemampuan mengikat tanah.  Tanah dipandang sebagai tempat kehidupan, dimana selain faktor fisik dan kimia, kehidupan jasad-jasad makro dan mikro di dalam tanah harus mampu mendukung kehidupan tanaman. Semua komponen tersebut berinteraksi dan saling berkaitan membentuk ekosistem terestrial yang baik bagi makhluk hidup.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan praktikum ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mardiansyah, M.Si dan Dina Anggraini, S.Si selaku dosen yang telah membimbing saya dalam praktikum ini, serta Muhammad Fazri Hikmatyar selaku assisten dan kepada Azkiya, Rima, Annisa, Gita, Arman dan Udi yang telah membantu praktikum ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adianto, 1992. Biologi Pertanian. Alumni. Bandung.
Arief, A. 2001. Hutan Dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta. 179 hal.
Baker GH. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture and other land use practices on soil fauna in Australia. App.Soil Ecol. 9,303-310.
Berryman, Alan A. 1986. Population Problems a General Introduction. Plenus Press. New York. Giller, K. E, Handayanto, E. Cadisch, G. and. 1997. Regulating And Mineralization from Plant Residues by Manipulation of Quality. In: Driven by Nature: Plant Litter Quality and Decomposition. K.E. Giller and G. Cadisch (eds). CAB International, Walingford, Oxon, UK. pp 175-185.
Cox, G.W. 1972. Laboratory Mannual of General Ecology. Iowa: WMC Brown Company Publishers.
Dindal, D.L. (Ed.) 1990. Soil Biology Guide. New York: John Wiley & Sons.
Elzinga, R.J. 1978. Fundamentals of Entomology. New Delhi: Prentice Hall of India.
Foth, 1994. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Erlangga, Jakarta. 368 Hal.
Fragoso, C., G.G. Brown, J.C. Patron, E. Blanchart, P. Lavelle, B. Pashanasi, B. Senopati, and T. Kumar. 1997. Agricultural. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Giller KE, Beare MH, Lavelle P, Izac AMN, Swift MJ. 1997. Biology of Springtails. New York (US): Oxford University. Press.
Hanafiah. A, Napoleon. A. dan Ghosfar. N. 2003. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ludwig, J. A., and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Camputing, John Wiley & Sons, New York.
Maftu’ah, E., E. Arisoesiloningsih dan E. Handayanto. 2002. Studi potensi diversitas makrofauna sebagai bioindikator kualitas tanah pada beberapa penggunaan lahan. Biosain 2: 34-47.
Makalew, A.D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah.
Odum, Eugene P. 1995. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Purwanti. 2003. Diversitas Makrofauna Tanah pada Berbagai Jenis dan Kombinasi Tanaman Sela di Bawah Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di RPH Jatirejo, Kediri. [Skripsi]. Surakarta: Jurusan Biologi, FMIPA UNS
Sari, S.G., E.A. Soesiloningsih dan A.S. Leksono. 2003. Peningkatan diversitas fauna tanah kritis berkapur di lahan jagung melalui sistem tumpangsari DAS Brantas Kabupaten Malang. Prosiding Lokakarya Nassional Pertanian Organik, Malang 7-9 Oktober 2002.
Sugiyarto, Y. Sugito, E. Handayanto, dan L. Agustina. 2003. Pengaruh sistem penggunaan lahan hutan terhadap diversitas makroinvertebrata tanah di RPH Jatirejo, Kediri, Jawa Timur. BioSMART 4(2): 66-69.

Sumber Gambar : antirayap-ravthor.com
gurungeblog.wordpress.com

LAMPIRAN
Tabel 1. Makrofauna pada semua plot pengamatan

Tabel 2. Makrofauna pada plot pengamatan seluruh plot pengamatan

Tabel 3. Faktor Fisik


Tabel 4. Jumlah Seluruh Jenis Tumbuhan pada seluruh plot


Tabel 5. Keanekaragaman jenis tumbuhan









Read More..
Jumat, 07 Juni 2013

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TERESTRIAL TANAH DAN DEKOMPOSISI


TANAH DAN DEKOMPOSISI
Aldha Rizki Utami1), Gita Najla Aldila1), Arman Gaffar1), Rima Suciyani1), Azkiya Banata1), Annisa Maulida1), Udi Rafiudin1)

Mardiansyah, M.Si2), Dina Anggraini, S.Si2)
Ady Septianto Hermawan3)

1)Mahasiswa Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2)Dosen Praktikum Ekologi Terestrial
3)Assisten Praktikum Ekologi Terestrial

 15 Mei 2013

ABSTRACT

Land was home to a variety of small animals. These animals do crop residue decomposition into nutrients that and dig holes and tunnels that lead to the formation of water channels and air circulation in the soil. Decomposition was a very complex process that involves several factors. Leaf litter and wood that reaches the ground will rot and will gradually be incorporated into the mineral soil horizon through the activity of soil organisms. Gradual process of decomposition was in abundance, with the most rapid rate of decomposition occurs in the first week. This was because the new litter is still a lot of inventory elements that are food for the microbes to the soil or decomposing organisms, so the litter quickly destroyed. Observations that have been carried out aimed to determine the structure and size of the cross-section in the ground, knowing fauna in the cross-section of land, knowing the processes of decomposition and determine the factors that affect decomposition. This observation has been done to produce data that can be seen on the results and attachments. Observations weight and size of the land to get the result that the larger the size of the land, then the land will be more severe, and vice versa. Transverse profile of the soil showed that the soil conditions and have different layers. Abundance of fauna that exist under the canopy more numerous than the fauna was not under a canopy, under canopy dominated by termites and fleas, not ticks under a canopy dominated. Decomposition process aided by soil fauna and soil microorganisms that decompose litter and the factors that affect decomposition are temperature, pH, humidity, type of litter and environmental factors.

Keywords: soil, decomposition, decomposers, litter, weight and size of the land, the rate of decomposition

ABSTRAK

Tanah merupakan tempat tinggal untuk bermacam-macam binatang kecil. Binatang ini melakukan proses pembusukan sisa tanaman sehingga menjadi unsur hara dan menggali lubang serta terowongan yang menyebabkan terbentuknya saluran peredaran air dan udara di dalam tanah. Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan beberapa faktor. Sampah daun dan kayu yang mencapai tanah akan membusuk dan secara bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon mineral tanah melalui aktivitas organisme tanah. Proses dekomposisi berjalan secar bertahap, dimana laju dekomposisi paling cepat terjadi pada minggu pertama. Hal ini dikarenakan pada serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur. Pengamatan yang sudah dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan ukuran di penampang melintang tanah, mengetahui fauna yang ada di penampang melintang tanah, mengetahui proses-proses terjadi dekomposisi dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi. Pengamatan yang telah dilakukan ini menghasilkan data yang dapat dilihat pada hasil dan lampiran. Pengamatan berat dan ukuran tanah mendapatkan hasil bahwa semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah tersebut, begitu juga sebaliknya. Profil melintang tanah menunjukkan keadaan tanah yang  berbeda-beda dan mempunyai lapisan-lapisan. Kelimpahan fauna yang ada dibawah  kanopi lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan fauna bukan di bawah kanopi, di bawah kanopi didominasi rayap dan kutu, bukan dibawah kanopi didominasi kutu. Proses dekomposisi dibantu oleh fauna tanah dan mikroorganisme tanah yang mengurai serasah dan faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, pH, kelembaban, tipe serasah dan faktor lingkungan.

Kata kunci : tanah, dekomposisi, dekomposer, serasah, berat dan ukuran tanah, laju dekomposisi

PENDAHULUAN
           

Tanah merupakan tempat tinggal untuk bermacam-macam binatang kecil. Binatang ini melakukan proses pembusukan sisa tanaman sehingga menjadi unsur hara dan menggali lubang serta terowongan yang menyebabkan terbentuknya saluran peredaran air dan udara di dalam tanah. Dengan menggali tanah, binatang-binatang kecil mencampur lapisanl-apisan tanah. Tanah yang sehat mempunyai berbagai jenis binatang (bio-diversitas tinggi). Dominasi oleh salah satu jenis binatang merupakan tanda adanya kemungkinan ketidak-seimbangan pada tanah tersebut. Misalnya, terlalu banyak atau terlalu sedikit air. Penggunaan pestisida juga bisa merusak keseimbangan biologis tanah (Doeswono, 1998)
Nutrisi dikembalikan ke tanah dalam bentuk sampah yang dilarutkan melalui kegiatan pengurai atau yang dikenal dengan istilah dekomposisi. Dekomposisi serasah adalah perubahan fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa organik sederhana (Sutedjo et al., 1992).
Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et al., 1998). Sampah daun dan kayu yang mencapai tanah akan membusuk dan secara bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon mineral tanah melalui aktivitas organisme tanah. Bahan organik yang ada di permukaan tanah dan bercampur dengan mineral tanah adalah sumber yang penting bagi fosfor, kalsium, kalium, magnesium, dan nutrisi lainnya. Pelepasan hara dari pembusukan bahan organik di dalam tanah merupakan langkah  penting dalam fungsi ekosistem. Jika nutrisi diuraikan terlalu cepat,  akan hilang melalui pencucian tanah atau penguapan. Sebaliknya, jika dekomposisi terlalu lambat, hara yang disediakan bagi tumbuhan jumlahnya sedikit maka  hasilnya pertumbuhan tanaman akan terhambat (Asri, 19990
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, contohnya pH, iklim (temperatur dan kelembaban), komposisi kimia dari serasah, dan mikro organisme tanah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa laju dekomposisi di daerah tropis relatif lambat, hal ini dimungkinkan  karena dedaunan pohon di tropis bersifatsclerophyllous. Daun sclerophyllous antara lain daun-daun yang  kuat dan memiliki rasio luas dan beratnya rendah yang relatif tahan terhadap pembusukan.  Setidaknya selama tahap pertama dekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
Proses dekomposisi berjalan secar bertahap, dimana laju dekomposisi paling cepat terjadi pada minggu pertama. Hal ini dikarenakan pada serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur (Pleguezueolo, 2009).
Pengamatan kali ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan ukuran di penampang melintang tanah, mengetahui fauna yang ada di penampang melintang tanah, mengetahui proses-proses terjadi dekomposisi dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi.




MATERI DAN METODE
            Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal  3 April 2013 sampai 24 April 2013 mulai pukul 13.00 – 16.00 WIB di Kampus 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan analisis data dilakukan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sekop/ cangkul, pisau, pinset, cawan, plastik/ botol sampel, oven, alat ukur atau meteran, pH meter, saringan bertingkat, timbangan, mikroskop, soil tester, termometer tanah, kertas label, kantong sampah (litter bags) 10 buah yang terbuat dari kain kassa berukuran 20 x 10 cm dan kuas. Bahan yang digunakan meliputi faktor abiotik (tanah, serasah daun dan rumput, suhu tanah, intensitas cahaya, pH tanah)  dan biotik yang akan diukur (hewan).


Prosedur Kerja
            Pertama yang dilakukan adalah ditentukan lokasi untuk menggali tanah sedalam 30 cm. Dibagi dua kelompok, 3 kelompok menggali tanah dibawah kanopi, 2 elompok menggali tanah tidak dibawah kanopi Setelah digali, diukur pH tanah kemudian lihat penampang melintang tanah. Diambil sampel tanah sebanyak 10 gram lalu dioven dengan suhu 60°C selama 1 jam, setelah itu tanah disaring.
Diambil serasah yaitu berupa daun sebanyak masing - masing 10 gram yang dimasukkan ke dalam kantung. Dilakukan juga hal yang sama pada serasah rumput. Setelah itu dicatat kondisi serasah (fauna % kerusakan), kemudian diletakkan pada lantai hutan. Diukur faktor fisiknya yaitu intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban tanah dan pH tanah
            Diamati selama 4 minggu dengan interval waktu 1 minggu, setiap minggu diuukur faktor fisik, kondisi serasah, fauna) diambil 2 kantung perminggu. Data yang didapatkan dianalisis dan disajikan dalam bentuk histogram dan tabel.
           
Analisis Data
            Percobaan ini menghasilkan data fauna tanah, persentase kerusakan daun dan ruput dan berat daun dan rumput. Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk grafik histogram dan tabel.
Histogram dan tabel dapat dilihat pada hasil dan lampiran.

HASIL
            Pengamatan tanah dan dekomposisi ini mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk grafik histogram dan tabel sebagai berikut.


Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di Bawah Kanopi
            Berdasarkan Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di Bawah Kanopi, berat daun paling tinggi berada pada minggu ke 2 dengan berat 6,33 gram, sedangkan berat daun paling rendah berada pada minggu terakhir dengan berat 0, 77 gram. Berat rumput tertinggi berada pada minggu ke ke 1 dengan berat 11,27 gram, sedangkan berat rumput terendah pada minggu ke 3 atau minggu terakhir dengan berat 4,57 gram.
           
Gambar 2. Berat Daun dan Serasah tidak di Bawah Kanopi

            Berdasarkan Gambar 2. Berat Daun dan Serasah tidak di Bawah Kanopi, berat daun tertinggi pada minggu ke 2 dengan berat 5, 4665 gram, sedangkan berat daun terendah pada minggu ke 3 dengan berat 3, 014 gram. Berat rumput tertinggi pada minggu ke 0 dengan berat 10, 01335 gram.


Gambar 3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi

            Berdasarkan Gambar 3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 85 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.

Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi
Berdasarkan Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 65 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 10 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.


Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi

            Berdasarkan Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi oleh hewan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 50 dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 33. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 2 dan cacing tanah (Lumbricidae) dengan jumlah individu 1.

            Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi

Berdasarkan Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi oleh kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 21 pada daun dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 7 pada rumput. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan kumbang tanah (Formicidae) dengan jumlah individu 1.


Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah

            Berdasarkan Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah, tanah dengan berat tertinggi dengan ukuran 630 µm denga berat 5, 9373 gram, sedangkan tanah yang paling ringan berukuran 0, 033 µm dengan berat 0, 0835 gram.


PEMBAHASAN
Pengertian Dekomposisi      
            Praktikum kali ini mengamati tanah dan dekomposisi. Dekomposisi sendiri adalah proses alami dari hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Proses ini dilakukan oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Organisme yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Proses ini dilakukan oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Hasil dekomposisi adalah bahwa blok bangunan yang diperlukan untuk kehidupan dapat didaur ulang. Dekomposisi  merupakan proses yang sangat kompleks yang melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et al. 1998).
Semua organisme hidup di bumi akhirnya akan mati. Banyak tanaman secara alami melengkapi siklus hidup mereka dan mati dalam waktu satu tahun. Jika setiap organisme yang mati tidak membusuk dan membusuk, permukaan bumi akan segera tertutup lapisan mendalam  mayat yang akan tetap utuh selamanya. Situasi yang sama akan timbul jika limbah hewan dan tumbuhan tidak pernah membusuk. Hal ini tidak terjadi karena organisme mati dan limbah hewan menjadi makanan atau habitat bagi beberapa organisme lain untuk hidup (Chapin, 2002).
Dekomposisi adalah proses alami dari hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Sedangkan Pengurai atau dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen (Prescot, 2005).
Jenis-jenis Dekomposisi
Organisme yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dekomposisi ada tiga, yaitu:
1. Aerobik : oksigen adalah penerima elektron oksidan.
2. Anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan.
3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron.
Komponen tersebut berada pada suatu tempat dan  berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur (Edward, 1998).

Kelimpahan Fauna Tanah (Dekomposer)
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah.Tanah merupakan suatu bentangan alam yang tersusun dari bahan- bahan mineral yang merupakan hasil pelapukan sisa-sisa tumbuhan dan hewan lainnya. Kelompok hewan tanah sangat beranekaragam, menurut ukurannya ada yang digolongkan menjadi makrofauna tanah, mesofauna tanah, dan mikrofauna tanah. Ukuran mikrofauna berukuran 20 - 200 mikron. Mesofauna berukuran 200 mm - 1cm. sedangkan makrofauna berukuran lebih dari 1 cm. Hewan tanah mempunyai peranan yang cukup besar dalam penentuan kualitas tanah, terutama dalam proses pengurayan material organik tanah. Selain itu hewan tanah juga dapat memperbaiki struktur tanah (Partaya, 2002).
Proses dekomposisi material organik merupakan hasil aktifitashewan tanah dan mikro flora tanah. Keikutsertaan hewan tanah dalam proses dekomposisi bisa secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung karena organisme tersebut memakan dan menghancurkan material organik, dan secara tidak langsung berupa keikutsertaannya meningkatkan jumlah mikroflora tanah yang juga berperan dalam proses dekomposisi material organik tanah (Borror, 1992).
Selain itu hewan tanah juga berperan dalam memberikan nilai tukar kation tanah dan menyumbangkan nitrogen bagi tanah. Hewan tanah yang mati ,tubuhnya akan terurai dan lebih lanjut senyawa yang mengandung nitrogen akan diserap dan dimanfaatkan kembali oleh tumbuh- tumbuhan. Hewan tanah sebagai salah satu komponen dalam ekosistem juga memerlukan keberadaan komponen lain dari ekosistem itu, yaitu komponen biotik seperti vegetasi tumbuhan dan mikroflora tanah, dari komponen abiotik yaitu tanah dan iklim (Brussaard, 1998).
Selain fauna tanah/ organisme tanahh, ada juga mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke udara. Ada dua proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu dekomposisi bahan organik tanah dari humus, dan dekomposisi dari sisa tanaman yang ditambahkan (Foth, 1988).
            Dekomposer adalah organisme yang mengubah molekul organik menjadi anorganik. Dekomposer merupakan organisme heterotrof yaitu organisme yang tidak bisa membuat makanan sendiri sehingga harus mendapatkan makanan dari organism lain. dengan cara menguraikan sisa-sisa makanan. decomposer utama dalam ekosistem adalah jamur dan bakteri, namun ada juga organisme lain yang ikut berperan seperti serangga tanah, semut, rayap dan cacing tanah. Hal yang menganggu dan mempersempit aktivitas dekomposer adalah praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan, penggunaan pestisida serta kecilnya kandungan bahan organik (Hakim, 1986).
Dekomposisi  adalah  proses penguraian yang dilakukan oleh dekomposer untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dikomposer terutama jamur dan bakteri mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk peroses kamis spesifik, adapun jenis dekomposer tidak ada satupun yang mampu melaksanakan dekomposisi secara total, namun populasi dekoposer yang beraneka ragam jenisnya di alam mempunyai kemampuan yang beraneka ragam pula shingga dapat melaksana proses dekomposisi secara tuntas dimana kecepatan dekomposisi dipengaruhi olah banyak faktor diantaranya temperator dan kelembapan, dalam proses dekomposisi sendiri dihasilkan berbagai zat kimia yang mempunyai dampak positif sebagai peraysang temperature dan mempunyai dampak uegatif positif sbagai penghambat pertumbuhan, dimana zat yang dihasilkan disebut dengan hormone lingkungan, dimana hasil dari dekomposisi tidak hanya berbentuk bahan makanan tetapi juga kimiawi (Hardjowigeno, 1987).
Hewan-hewan dekomposer banyak ditemukan ditempat lembab, hal ini karena dalam tempat lembab banyak terdapat zat-zat sisa makanan yang akan di uraikan. Sedangkan di tempat kering tidak/ jarang ditemukan hewan dekomposer. Karena di tempat kering hanya terdapat sedikit bahan makanan yang dibutuhkan oleh dekomposer. Hal ini dibuktikan pada Gambar 5 dan 6 pada hasil pengamatan. Jumlah fauna di bawah kanopi lebih banyak daripada bukan dibawah kanopi. Hewan yang ditemukan tergolong mesofauna (mikroartrropoda, cacing) dan makrofauna (cacing tanah, insecta dan artropoda) berdasarkan ukuran tubuhnya (Kartasapoetra, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan jenis dekomposer yang di temukan di tempat lembab dan tanah gembur, hal ini di sebabkan karena beberapa faktor yaitu keadan tanah, suhu dan sisa hewan / tumbuhan yang terdapat pada tanah itu. Dekomposer adalah makhluk hidup yang bertugas menguraikan sisa-sisa makhluk hidup lain (bangkai dan sampah) menjadi komponen penyusun tanah. Berhubungan dengan fungsinya tersebut pengurai sering dianggap sebagai pembentuk lingkungan baru bagi produsen hasil penguraian berupa bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan baku makanan bagi tumbuhan seperti jamur dan bakteri. Jenis dekomposer di bawah kanopi ditemukan Lumbricidae (cacing tanah), Formicidae (semut), Psyllidae (kutu tanah) dan Rhinotermitidae (rayap).
Berdasarkan Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi oleh hewan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 50 dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 33. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 2 dan cacing tanah (Lumbricidae) dengan jumlah individu 1.
Jenis dekomposer bukan di bawah kanopi ditemukan kutu (Psyllidae), semut (Formicidae), laba-laba (Salticidae), dan kumbang tanah (Carabidae). Berdasarkan Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi oleh kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 21 pada daun dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 7 pada rumput. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan kumbang tanah (Formicidae) dengan jumlah individu 1.
Jumlah cacing tanah yang ditemukan sedikit, karena cacing tanah sangat menyukai tempat yang lembab dan gembur yang banyak mengandung sisa hewan/ tumbuhan yang mati. Hal ini didukung dengan adanya pengukuran faktor fisik (lampiran). Itu disebabkan karena di lingkungan lembab tertimbun banyak mahluk hidup yang telah mati, seperti kayu yang sudah lapuk, oleh karena itu kehidupan terjadi dari yang abiotik (kayu yang sudah mati) ke biotik (kayu itu sebagai makanan pengurai/decomposer). Cacing tanah  sendiri merupakan dekompuser yang mendapatkan makanan dari hasil dekomposisi. Cacing tanah selain berfungsi sebagai pengemburan tanah dan penyubur tanah juga sebagai pengurai. Cacing tanah mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk proses kimia.  Enzim ini dimasukkan ke dalam organisme mati dan sebagian hasil dekomposisi diserap oleh decomposer sebagai makanannya.  Sisa dari decomposer inilah yang menyuburkan tanah dan penyediaan udara untuk pernapasan jasad renik ( mikroba) melalui lubang-lubang yang telah dibuat di dalam tanah (Lavelle, 1999).
Di tempat yang  kering atau bukan di bawah kanopi tidak di temukan cacing tanah,  karena tempat kering tidak sesuai dengan habitatnya bahkan tidak ada sisa-sisa organisme mati sehingga sulit untuk melakukan proses dekomposisi untuk mendapatkan makanan. Daerah yang tertutupi kanopi banyak ditemukan rayap dan kutu, berlimpahnya jenis ini kemungkinan diakibatkan faktor fisik, kimia dan biologi yang mendukung kehiduupan dekomposer tersebut (Sugiyarto, 2000).
Penggunaan pestisida dan pupuk buatan seperti pupuk Nitrogen, pupuk Fosforus, pupuk Kalium dan lain sebagainya sangat mengganggu aktivitas decomposer, hal ini disebabkan karena kandungan kimia masing-masing pupuk akan menyebabkan tanah bersifat asam, tanah asam disebabkan oleh kelebihan superfosfat yang dapat meningkatkan konsentrasi Hidrogen dalam tanah. Tentu saja hal ini akan menghambat aktifitas dekomposer bahkan dapat membunuh dekomposer, karena menyerap tanah yang asam akibat dari bahan kimia pupuk-pupuk tersebut. Dapat dipastikan di tempat tersebut huga tidak ada bahan organik yang di serap oleh dekomposer (Poerwowidodo, 1992)

Perbandingan Kecepatan Dekomposisi di Bawah Kanopi dan Bukan di Bawah Kanopi Dilihat Dari Berat  Serasah dan Persentase Kerusakan
Kecepatan dekomposisi dapat diketahui dari banyaknya bobot sampah organik yang terdekomposisi setiap interval waktunya.  Kecepatan dekomposisi dapat dilihat dari bobot sampah organik yang terdekomposisi dan persentase kerusakan serasah/ sampah organik (Wang, 2010).
Serasah merupakan material organik yang mampu diuraikan oleh mikroorganisme dan organisme kecil lain. Material organik diuraikan oleh mikroorganisme karena berperan sebagai sumber energi dan makanan bagi mikroorganisme tersebut. Hasil penguraian oleh mikroorganisme akan berguna sebagai penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sebagai sumber energi bagi mikroorganisme juga sebagai sumber hara bagi tanaman (Yang, 2004).
Berdasarkan Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di Bawah Kanopi, berat daun paling tinggi berada pada minggu ke 2 dengan berat 6,33 gram, sedangkan berat daun paling rendah berada pada minggu terakhir dengan berat 0, 77 gram. Berat rumput tertinggi berada pada minggu ke ke 1 dengan berat 11,27 gram, sedangkan berat rumput terendah pada minggu ke 3 atau minggu terakhir dengan berat 4,57 gram.
Berdasarkan Gambar 2. Berat Daun dan Serasah tidak di Bawah Kanopi, berat daun tertinggi pada minggu ke 2 dengan berat 5, 4665 gram, sedangkan berat daun terendah pada minggu ke 3 dengan berat 3, 014 gram. Berat rumput tertinggi pada minggu ke 0 dengan berat 10, 01335 gram.
Berdasarkan Gambar 3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 85 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Berdasarkan Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 65 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 10 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Dapat dibandingkan bahwa semakin lama serasah daun dan rumput diletakkan diatas tanah maka semakin sedikit beratnya dan semakin besar persentase kerusakannya. Hal ini terjadi karena bantuan dekomposer yang membantu mengurai sampah organik/ serasah daun dan rumput. Penguraian serasah daun dan rumput lebih cepat terjadi pada daerah yang ditutupi kanopi, ditunjukkan denga berat serasah yang berkurang signifikan pada pengamatan minggu terakhir. Hal yang sama ditunjukkan juga pada persentase kerusakan serasah, daerah yang ditutupi kanopi persentase kerusakan serasahnya lebih besar dibandingkan dengan persentase kerusakan serasah di daerah yang tidak ditutupi kanopi.
Hampir sama seperti kelimpahan fauna/ dekomposer, daerah yang ternaungi kanopi lebih lembab, banyak tersedia sumber kehidupan bagi dekomposer dan faktor fisik yang sangat mendukung kehidupan dekomposer. Jumlah dekomposer yang banyak mengakibatkan serasah cepat terdekompososisi. Begitu juga sebaliknya pada daerah yang tidak tertutupi kanopi, suhu yang panas, tidak lembab menyebabkan dekomposer sedikit dan serasah terdekomposisi membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan daerah yang tertutupi kanopi.
Setiap organisme memliki kisaran suhu optimum untuk kelangsungan hidupnya Kelembaban udara berpengaruh terhadap dekomposisi serasah karena memberikan kondisi optimum untuk penguraian material organik menjadi material organik yang lebih sederhana maupun menjadi material anorganik. Jumlah mikroorganisme dan organisme berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah karena semakin banyak mikroorganisme dan organisme kecil lainnya, semakin cepat pula proses dekomposisi. Keragaman organisme berkaitan dengan interaksi antara orgnisme. Interaksi yang mungkin terjadi antara lain sinergisme dan antagonisme. Semakin kompleks kandungan kimia suatu serasah, semakin lama proses dekomposisinya (Sugiyarto, 2000).
Serasah diuraikan oleh kompleks mikroorganisme, baik bakteri, jamur, lipan maupun kumbang tanah. Serasah diuraikan oleh mikroorganisme menjadi material anorganik untuk dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan. Dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, jumlah dan keragaman mikroorganisme serta kandungan kimia serasah (Suhardjono, 1998).
Sulistiyanto (2005) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. Kecepatan dekomposisi seresah daun dan rumput dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah seperti kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe serasah mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa berikutnya yang relatif cepat didekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
2. Temperatur
Kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24 ºC. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10°C akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat. Akan tetapi penambahan suhu maksimal dapat mematikan organisme pendegradasi serasah. Berdasarkan Tabel 1. Faktor Fisik (lampiran), daerah yang tertutupi kanopi mempunyai suhu udara berkisar 27 - 31°C dan suhu tanah 27 - 28°C (Sulistiyanto, 2005).
3. Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, dimana aktivitas selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH optimum untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH. Berdasarkan Tabel 1. Faktor Fisik (lampiran), daerah yang tertutupi kanopi mempunyai pH berkisar 4 – 8,9 (Sulistiyanto, 2005)
Faktor-faktor Pengendali Dekomposisi
Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba (Asri, 1999).
Kondisi Lingkungan Fisik : Temperatur
Temperatur mempengaruhi proses dekomposisi secara langsung dengan meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan mengubah kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke dalam tanah. Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam proses respirasi mikroba pada rentang temperatur yang luas –mempercepat mineralisasi karbon organik menjadi CO2. Keadaan temperatur yang tinggi secara terus menerus menyebabkan proses dekomposisi berlangsung dengan lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak efek tidak langsung terhadap proses dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi kelembaban tanah dengan meningkatkan proses evaporasi dan transpirasi. Stimulasi aktivitas mikroba oleh temperatur yang hangat juga menginisiasikan serangkaian perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi proses dekomposisi. Di sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi pada temperatur tinggi meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan oleh tanaman –mengubah substrat yang tersedia untuk dekomposisi. Temperatur yang tinggi juga meningkatkan tingkat pelapukan kimia, yang dalam jangka pendek menyebabkan peningkatan pasokan nutrisi. Sebagian besar efek tidak langsung dari temperatur menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi tanah pada suhu yang hangat dan memberikan kontribusi pada proses dekomposisi yang lebih cepat (diamati pada kondisi iklim hangat) (Asri, 1999)..
Kelembaban
Dekomposer mengalami kondisi paling produktif dalam kondisi lembab yang hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia) kondisi yang menyebabkan tingkat dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat dekomposisi umumnya mengalami penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari 30 sampai 50% dari massa kering –dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan lembab pada permukaan tanah yang menyebabkan penurunan kecepatan difusi substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi juga mengalami penurunan pada kadar kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih besar dari 100 hingga 150% dari massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu yang membusuk, terdapat lingkungan mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh jumlah pasokan oksigen). Tingkat dekomposisi batangan kayu umumnya mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya diameter batang tersebut –karena ukuran batangan besar umumnya memiliki lebih banyak uap air dan lebih sedikit oksigen (Asri, 1999).
Properti Tanah
Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada kondisi netral daripada kondisi asam. Peningkatan secara menyeluruh di tingkat dekomposisi pada pH yang lebih tinggi mungkin mencerminkan adanya kompleksitas interaksi antar faktor, termasuk perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan terkait dengan perubahan dalam kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari penyebab perubahan keasaman dan komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah cenderung dikaitkan dengan tingkat dekomposisi yang rendah(Asri, 1999).
Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air (water-holding capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah. Bahkan pada kelembaban tanah yang sedang, mineral lempung dapat meningkatkan akumulasi bahan organik dengan: mengikat bahan organik tanah; mengikat enzim mikroba; dan mengikat produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat dikatakan, efek akhir dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi (Asri, 1999).
Gangguan pada Tanah
Gangguan pada tanah berpengaruh pada peningkatan dekomposisi dengan mempromosikan proses aerasi serta mengekspos permukaan baru untuk proses penyerangan oleh mikroba. Mekanisme dimana proses gangguan ini merangsang terjadinya dekomposisi pada dasarnya sama pada semua skala; mulai dari pergerakan cacing di dalam tanah sampai proses pengolahan tanah pada bidang pertanian. Peristiwa proses ini pada hakikatnya mengganggu agregat tanah sehingga bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terbuka terhadap oksigen dan kolonisasi oleh mikroba. Dampak gangguan pada tanah ini yang paling menonjol terlihat pada keadaan tanah basah yang hangat –dimana proses aerasi yang telah meningkat ini besar pengaruhnya terhadap proses dekomposisi (Asri, 1999).
Kualitas dan Kuantitas Substrat
Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tingkat dekomposisi pada dasarnya merupakan konsekuensi yang logis dari jenis senyawa kimia yang hadir dalam serasah atau sampah tersebut. Senyawa-senyawa ini dapat dikategorikan diantaranya sebagai senyawa metabolik labil (seperti gula dan asam amino), senyawa struktural agak labil (seperti selulosa dan hemiselulosa), dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan cutin). Sampah yang cepat membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas konsentrasi yang lebih tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih rendah pada senyawa solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan struktur, toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai prediktor tingkat laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling berkorelasi. Rasio perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C : N) misalnya, sering digunakan sebagai indeks dari kualitas sampah; karena sampah dengan rasio “C : N” yang rendah (konsentrasi nitrogen tinggi) umumnya mengalami dekomposisi yang cepat. Namun, bukanlah konsentrasi nitrogen dari sampah maupun ketersediaan nitrogen dalam tanah yang secara langsung mempengaruhi tingkat dekomposisi pada ekosistem alami; hal ini menunjukkan bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti kimiawi yang langsung mengontrol proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk kondisi sampah solid, rasio konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan sebagai prediktor tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting kualitas karbon dalam menentukan tingkat dekomposisi (Asri, 1999).

Materi Organik Tanah
Materi organik tanah dihasilkan dari sampah melalui proses fragmentasi oleh invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh mikroba. Setelah mikroba ini mati, komponen chitin serta komponen solid lain pada dinding sel mikroba tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi massa dari sampah (massa sampah sebelum yang ditambah massa mikroba) dan reaksi-reaksi non-enzimatik yang menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini berakibat terjadinya pengurangan kualitas bahan organik tanah secara bertahap (penuaan) -rasio “C : N” juga mengalami penurunan seiring proses dekomposisi berjalan. Dapat disimpulkan, pada proses dekomposisi terhadap materi organik tanah (seperti halnya pada sampah), kualitas karbon dapat dikatakan merupakan alat prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik (Asri, 1999).
Sudah menjadi sifat heterogen dari materi organik tanah yang membuatnya sulit dalam pengidentifikasian kontrol kimiawi atas proses dekomposisi materi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya percampuran senyawa organik dari usia yang berbeda dengan komposisi kimiawi. Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah ini dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan, karena partikel baru bersifat kurang padat apabila dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada partikel mineral tanah. Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah yang besar dalam pecahan ringan umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi. Sebagai alternatif lain, tanah dapat dipisahkan secara kimiawi menjadi pecahan-pecahan yang berbeda, seperti senyawa air terlarut, asam humic, dan asam fulvat –yang berbeda dalam usia rata-rata dan kemudahan dalam penguraian. Materi organik tanah secara rata-rata umumnya memiliki waktu tinggal (residence time) antara 20 sampai 50 tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran antara 1 sampai 2 tahun pada lahan budidaya hingga ribuan tahun pada  lingkungan dengan tingkat dekomposisi yang lambat (Asri, 1999).


Komposisi Komunitas Mikroba dan Kapasitas Enzimatis
Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada komposisi komunitas mikroba dan sifat dari matriks tanah. Komposisi dari komunitas mikroba berperan sangat penting karena komposisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi enzim. Enzim pemecah substrat umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh begitu banyak jenis mikroba (dimana jenis enzim-enzim ini memang secara universal sering djumpai di dalam tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam proses-proses yang hanya terjadi dalam lingkungan tertentu, seperti proses denitrifikasi (atau produksi metana) dan oksidasi, tampak lebih sensitif terhadap komposisi komunitas mikroba ini. Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di dalam tanah, baik oleh degradasi oleh protease tanah atau dengan cara mengikat mineral tanah. Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau mikroba mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan pengikatan terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau memblokir lahan aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya (Asri, 1999).

Profil Tanah
Tanah adalah lapisan nisbi tipis pada permukaan kulit. Tanah bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, karena keaneka ragaman ini, maka tanah dapat dipandang sebagai kumpulan individu-individu tanah. Pembentukan tanah dari bongkahan bumi mulai dari proses-proses pemecahan atau penghancuran dimana bahan induk berkeping-keping secara halus. Tiap tanah berkembang secara baik dan masih dalam  keadaan asli akan mempunyai sifat profil yang khas. Sifat-sifat ini yang dipakai dalam klasifikasi dan penjarangan tanah yang sangat besar manfatnya dalam menentukan pendapat tentang tanah dan sifat-sifat profil (Foth, 1994).
Pengenalan tanah di lapangan dilakukan dengan mengamati menjelaskan sifat-sifat profil tanah. Profil tanah adalah urutan-urutan horison tanah, yakni lapisan-lapisan tanah yang dianggap sejajar permukaan bumi. Profil tanah dipelajari menggali tanah dengan dinding lubang vertikal kelapisan yang lebih bawah (Foth, 1994).
 Profil tanah merupakan suatu irisan melintang pada tubuh tanah, dibuat dengan cara membuat lubang dengan ukuran panjang dan lebar serta kedalaman tertentu sesuai dengan keadaan tanah dan keperluan penelitian. Tanah merupakan tubuh alam yang terbentuk dan berkembang akibat terkena gaya-gaya alam (natural forces) terhadap proses pembentukan mineral. Pembentukan dan pelapukan bahan-bahan organik pertukaran ion-ion, pergerakan dan pencucian bahan-bahan koloid (Foth, 1994).
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya  dari fraksi tanah halus. Berdasar atas perbandingan anyaknya butir-butir pasir, debu, liat maka tanah dikelompokkan kedalam beberapa kelas tekstur. Dalam klasifikasi tanah tingkat famili kasar halusnya tanah ditunjukkan dalam kelas sebaran besar butir yan mencakup seluruh tanah. Kelas besar butir merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah tetapi dengan memperhatikan pula banyaknya fragmen batuan atau fragsi tanah yang lebih besar dari pasir. Tanah-tanah bertekstur liat ukuran butienya lebuh halus maka setiap satuan berat mempunyai luas luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah yang bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 1987). Berdasarkan Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah, semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah tersebut. Semakin kecil ukuran tanah tersebut maka akan semakin ringan tanah tersebut.
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir pasir, debu, liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik oksida-oksida besi dan lain-lain. Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan atas kemantapan atau ketahanan bentuk struktur tanah tersebut terhadap tekanan. Didaerah curah hujan tinggi seperti pada profil dalam dan dangkal umunya ditemukan struktur remah atau granular dipermukaan dan gumpal di horison bawah. Hal ini sesuai dengan jenis tanah dan tingkat kelembaban tanah. Tanah-tanah dipermukaan banyak mengandung humus biasanya mempunyai tingkat perkembangan yang kuat (Foth, 1994).
Warna tanah merupakan petujuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah pada umumnya oleh perbedaan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Bahan organik memberi warna kelabu, kelabu tua atau coklat tua pada tanah kecuali bila bahan dasarnya tertentu sperti oksida dan besi atau penimbunan garam memodifikasi warna. Akan tetapi banyak tanah tropika dengan kandungan oksida (hematit) yang tiggi berwarna merah, bahkan dengan sejumlah besar bahan organik (Foth, 1994).
Batas lapisan dengan lapisan lainnya dalam suatu profil tanah dapat terlihat jelas atau baur. Dalam pengamatan di lapangan ketajaman peralihan lapisan-lapisan ini dibedakan kedalam beberapa tingkatan yaitu nyata (lebar peralihan kurang dari 2,5 cm), jelas (lebar peralihan 2,5 – 6,5 cm) dan baur (lebar peralihan lebih dari  12,5 cm). disamping itu entuk topografi dari batas horison tersebut dapat rata, berombak, tidak teratur atau terputus (Foth, 1988).
Karatan merupakan hasil pelapukan batuan tanah yang di pengaruhi oleh adhesi dan kohesi. Karatan berwarna hitam mengandung banyak mangan (Mg) sedangkan berwarna merah mengandung besi (Fe). Karatan merupakan hasil reaksi oksidasi dan reduksi dalam tanah. Karatan menunjukkan hasil reaksi oksidasi dan reduksi dalam tanah. Karatan menunjukkan bahwa udara masih dapat kedalam tanah setempat sehingga terjadi oksidasi ditempat tersebut dan terbentuk senyawa-senywa Fe3+ yang berwarna merah. Bila air tida pernah menggenang tata udara dalam tanah selalu baik, maka seluruh profil tanah dalam keaadaan oksidasi (Fe3+) oleh karena itu umumnya berwarna merah atau coklat. (Foth, 1988). Berdasarkan hasil pengamatan dan literatur yang didapatkan tanah mempunyai beberapa lapisan dan warnanya bermacam-macam (Foth, 1994).
Tanah terdiri dari lapisan berbeda horisontal, pada lapisan yang disebut horizons. Mulai dari kaya, organik lapisan atas (humus dan tanah) ke lapisan yang rocky (lapisan tanah sebelah bawah, dan regolith bedrock) .
1.      Horizon O – Bagian atas, lapisan tanah organik, yang terdiri dari humus daun dan alas.
2.      Horizon A – juga disebut lapisan tanah, yang ditemui di bawah cakrawala O dan E di atas cakrawala. Bibit akar tanaman tumbuh dan berkembang dalam lapisan warna gelap. Itu terdiri dari humus  dicampur dengan partikel mineral.
3.      Horizon E – adalah lapisan warna terang dalam hal ini adalah lapisan bawah dan di atas A Horizon B Horizon. Hal ini terdiri dari pasir dan lumpur, setelah kehilangan sebagian besar dari tanah liat dan mineral sebagai bertitisan melalui air tanah.
4.      Horizon B – juga disebut lapisan tanah sebelah bawah  ini adalah lapisan bawah dan di atas E Horizon C Horizon. Mengandung tanah liat dan mineral deposit (seperti besi, aluminium oxides, dan calcium carbonate) yang diterima dari lapisan di atasnya ketika mineralized bertitisan air dari tanah di atas.
5.      Horizon C – juga disebut regolith : di lapisan bawah dan di atas Horizon B R Horizon. Terdiri dari sedikit rusak bedrock-up. Akar tanaman tidak menembus ke dalam lapisan ini, sangat sedikit bahan organik yang ditemukan di lapisan ini.
6.      Horizon R – The unweathered batuan (bedrock) yang lapisan bawah semua lapisan lainnya (Islami, 1995).


Gambar 8. Profil Tanah Di Bawah Kanopi
            Batasan lapisan pertama dan kedua berbaur karena perbedaan warna antara lapisan pertama dan kedua hampir tidak dapat dibedakan dan biasanya disebabkan karena pencucian bahan organik lapisan pertama terbawa kelapisan kedua Hal ini sesuai dengan pendapat Foth (1988), bahwa adanya perbedaan lapisan pada tanah disebabkan proses pelapukan sisa-sisa mikroorganisme atau proses humufikasi.
Warna (munsell) lapisan pertama berwarna cokelat begitupun dengan lapisan kedua namun pada lapisan kedua warna lapisan cokelat kekuningan Hal ini disebabkan pada lapisan I, mengandung bahan organik yang lebih tinggi yang merupakan salah satu bahan yang mengendalikan warna pokok tanah. Selain itu juga banyak terdapat tumbuhan sehingga jika mati akan terurai. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwowidodo (1992), bahwa tanaman yang mengalami penguraian akan memiliki warna tanah cenderung gelap. namun perbedaan warnanya hampir tidak bisa dibedakan.
Tekstur pada lapisan pertama liat karena pada saat dipegang tanah ini lengket dan halus Hal ini disebabkan karena kandungan air pada tanah alfisol yang maksimum. Pada saat pengolahan akan sangat mudah tetapi bila sangat basah maka alat yang digunakan mudah lengket, sedangkan pada saat kering tanah tersebut akan sangat keras sehingga sukar untuk diolah. Tanah ini memiliki horizon B yang kaya akan liat. Hal ini sesuai dengan pendapat Foth (1994), bahwa tanah yang berada pada horizon B cenderung mengandung tekstur tanah yang liat. sedangkan pada lapisan kedua liat berpasir, karena pada saat dipegang tanah ini lengket dan terdapat butiran-butiran pasir. Struktur pada lapisan pertama dan kedua granular.
Kesimpulan dari penelitian mengenai tanah dan dekomposisi ini adalah semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah tersebut, begitu juga sebaliknya. Profil melintang tanah menunjukkan keadaan tanah yang  berbeda-beda dan mempunyai lapisan-lapisan. Fauna yang ada dibawah kanopi lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan fauna bukan di bawah kanopi, di bawah kanopi didominasi rayap dan kutu, bukan dibawah kanopi didominasi kutu. Proses dekomposisi dibantu oleh fauna tanah dan mikroorganisme tanah yang mengurai serasah dan faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, pH, kelembaban, tipe serasah dan faktor lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan praktikum ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mardiansyah, M.Si dan Dina Anggraini, S.Si selaku dosen yang telah membimbing saya dalam praktikum ini, Ady Septianto Hermawan selaku assisten dan kepada Azkiya, Rima, Annisa, Gita, Arman dan Udi yang telah membantu praktikum ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asri I.P., Rachman S., dan Kabirun, S. 1999. “Pengaruh penambahan biomassa algae terhadap penurunan Corganik pada dekomposisi limbah tanaman nanas”. Agrosains 12 (3). 269-279.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A., dan Johnson, N.F. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Malang: Pps. Universitas Brawijaya.
Brussaard, L. 1998. “Soil fauna, guilds, functional groups, and ecosystem processes”. Appl. Soil Ecol. 9: 123-136.
Chapin, F. Stuart et al. Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. 2002. New York: Springer-Verlag.
Dezzeo, N., Herrera, R., Escalante, G., and Briceno, E. 1998. Mass and nutrient loss of fresh plant biomass in a small black-water tributary of Caura river, Venezuelan Guayana. Biogeochemistry, 43: 197-210.

Doeswono,1983. Ilmu-Ilmu Terjemahan. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Edwards, C. A., 1998. Earthworm Ecology. Soil and Water Conservation Society. St. Luice Press. Ankeny, Iowa.
Foth,  1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Foth, D.H. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah (diterjemahkan oleh Soenartono Adisoemarto). Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hakim, N., Nyakpa Y.M., Lubis M.A., Nogroho G.S., Saul R.M., Diha A.M., Hong B.G., dan Bailey H.H., 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Hättenschwiler, S., A.V. Tiunov & S. Schen. 2005. Biodiversity and litter decomposition in terrestrial ecosystem . Annual Reviews Ecology Evolusi System 36: 191-218.
Islami, T. 1995. Klasifikasi Tanah. Aka Press. Jakarta.
Kartasapoetra. A. G., 1991. Pengantar Ilmu Tanah. PT Bhineka Cipta. Jakarta.
Madjid, Abdul. 2007. Bahan Organik Tanah. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Martius, C., H. Hofer, M.V.B. Garcia, J. Rombke & W. Hanagarth. 2003. Litter fall, litter stocks and decomposition rates in rainforest and agroforestry sites in Central Amazonia. Nutrient Cycling in Agroecosystem 68: 137-154.
P. Lavelle, L. Brussaard and P. Hendrix, 1999. Earthworm Management in Tropical Agroecosystems. CABI Publishing. UK.
Partaya. 2002. “Komunitas fauna tanah dan analisis bahan organik di TPA kota Semarang”. Seminar Nasional: Pengembangan Biologi Menjawab Tantangan Kemajuan IPTEK, tanggal 29 April 2002. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Pleguezuelo, C.R.R., V.H.D. Zuazo, J.L.M. Fernandes, F.J.M. Peinado & D.F. Tarifa. 2009. Litter decomposition and nitrogen release in a sloping mediterranean subtropical agroecosystem on the coast of Granada (SE, Spain): Effect of floristic and topographic alteration on the slope. Agriculture, Ecosystem and Environment 134: 79-88.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
populasi cacing tanah pada sistem wanatani”. Tesis.
Prescott, C.E. 2005. Decomposition and mineralization of nutrients from litter and humus dalam H. BassiriRad (Ed.), Nutrient Acquisition by Plants an Ecological Perspective. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Vol 181.
Sugiyarto. 2000. “Keanekaragaman makrofauna tanah pada berbagai umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kab. Kediri”. Biodiversitas 1 (2): 47-53.
Suhardjono, Y.R. 1998. “Serangga seresah: Keanekaragaman takson dan perannya di Kebun Raya Bogor”. Jour. Biota 3 (1): 16-24.
Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Penarbit Bumi aksara.
Sulistiyanto, Y., J.O. Rieley & S.H. Limin. 2005. Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari serasah pada dua sub-tipe hutan rawa gambut di kalimantan tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropica 11(2): 1-14.
Sutedjo, M.M., dan Kartasapoetra, G.A. 1992. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Wang, S., H. Ruan & Y. Han. 2010. Effect of microclimate, litter type, and mesh size on leaf litter decomposition along an elevation gradient in the Wuyi Mountains, China. China. Ecological Research 25: 1113-1120.
Yang, Y.S., J.F. Guo, G.S. Chen, J.S. Xie, L.P. Cai & P. Lin. 2004. Litter fall, nutrient return, and leaf-litter decomposition in four plantation compared with a natural forest in subtropical China. Annual Forest Science. 61: 465-476.

LAMPIRAN
Tabel 1. Faktor Fisik Pengamatan
Waktu
Faktor Fisik Lingkungan
Suhu udara
Suhu Tanah
Lux meter
pH
Kelembaban
0
31
28
4,7
8,9
90
1
31
29
17,2
4,5
90
2
27
27
1,39
3,5
90
3
28
27
3,5
7
70



Tabel 2. Kelimpahan Fauna di bawah Kanopi

Tabel 3. Kelimpahan Fauna Bukan di Bawah Kanopi

Tabel 4. Persentase Kerusakan dan Berat Serasah di Bawah Kanopi

Tabel 5. Persentase Kerusakan Serasah Bukan di Bawah Kanopi
Serasah
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Daun
10
10
30
65
Rumput
15
15
40
70

Tabel 6. Berat Serasah Bukan di Bawah Kanopi
Serasah
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Daun
5,0735
5,0349
5,4665
3,014
Rumput
10,0135
5,2293
2,1624
1,8346

Tabel 7. Berat dan Ukuran Tanah


Gambar 1. Penggunaan Soil Tester
(Sumber : dokumentasi pribadi)

Gambar 2. Cacing tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)

Gambar 3. Pembuatan Profil Tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)

Gambar 4. Peletakkan Kantung Serasah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
 
Gambar 5. Pengukuran Suhu Tanah dengan Termometer Tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Read More..