Mengenai Saya
- Aldha Rizki Utami
- Bogor, Jawa Barat, Indonesia
- just an ordinary girl with complicated mind.
Diberdayakan oleh Blogger.
Entri Populer
-
A. Pendahuluan Prokariota : organisme bersel tunggal yang merupakan bentuk paling awal dan paling primitif pada kehidupan di bumi, yang d...
-
LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DASAR “TEORI PELUANG DAN UJI KHI-KUADRAT (Chi-Square Test) ” Dosen : Dasumiati M.Si Tanggal Praktikum : S...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Percobaan isolasi DNA tanaman dan hewan perlu dilakukan karena isolasi DNA sendiri merupakan t...
-
PENGENALAN ALAT Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa Maulida 1...
-
I. Pendahuluan § Dinding sel hanya terdapat pada sel tumbuhan. § Sebagian besar isi dari sel berupa air. Tekanan air/ ...
-
EKOSISTEM TERESTRIAL Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa Maulid...
-
TANAH DAN DEKOMPOSISI Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa M...
-
A. Batasan Pengertian · Eukariotik : eu = “sebenarnya” ; karion = nukleus. · Sel Eukariotik : sel yang memil...
-
SUKSESI Aldha Rizki Utami 1) , Gita Najla Aldila 1) , Arman Gaffar 1) , Rima Suciyani 1) , Azkiya Banata 1) , Annisa Maulida 1) ,...
-
Bagi pecinta film drama romantis wajib nonton film ini. Dijamin gak akan nyesel karena film ini ngajarin kalo cinta itu mengajarkan kita ...
Pengikut
Facebookku
Sabtu, 08 Juni 2013
LAPORAN PRAK EKTER STRUKTUR DAN KOMPOSISI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
08.56
| Diposting oleh
Aldha Rizki Utami
STRUKTUR
DAN KOMPOSISI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR KEANEKARAGAMAN JENIS
TUMBUHAN
Aldha Rizki Utami1), Gita
Najla Aldila1), Arman Gaffar1), Rima Suciyani1),
Azkiya Banata1), Annisa Maulida1), Udi Rafiudin1)
Mardiansyah, M.Si2), Dina Anggraini, S.Si2)
Muhammad Fazri Hikmatyar3)
1)Mahasiswa Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2)Dosen Praktikum Ekologi Terestrial
3)Assisten Praktikum Ekologi Terestrial
E-mail: aldharizki@gmail.com
17 April 2013
ABSTRACT
This observation aims to find out how to perform
sampling on plant community, identify the type of plant on site sampling,
measuring the diversity of plant species in the sampling location, measure the
health factors of soil, soil fauna diversity and knowing the relationship
between the causal factors of soil health with diversity of fauna. Observations
of terrestrial biodiversity community has done to get the results that are
presented in the form of tables and the data analyzed with different Diversity
Index (H’, D, , λ , N1, N2, and E). Based on table 1. Plant species Diversity index
value on the observation plot measuring 2 m x 2 m belongs to medium-high. The
plant species diversity of medium-high this was likely
caused by biotic and abiotic constraints that support plant life itself.
Observations of the Bioindicator land plot
observations of 30 cm x 30 cm to get the results that have been analyzed with
the index Simpson (λ) and the Shannon-Wiener Index (λ) are
presented in table 2. Based on table 2. The value of diversity Index of Makrofauna
with the Shannon-Wiener was very low because the
value of H’ and λ the value
of 0.49 and the dominance of makrofauna was the
dominance of most termites high i.e. 0.3. The Simpson index value (λ) based on table 2. belongs to the medium. Observation on the
relationship of soil makrofauna with plant species diversity obtained data
presented in the form of a histogram can be seen in Picture 3. The relationship H’ Makrofauna H’ soil and Plants based on Figure 3. the higher the value of H’ makrofauna land then the higher was also the
curve on the value of H’ plants. The value of H' plants are top with a value of H’ 1,454 and
value of H’ makrofauna of 0.67.
Observations of the galore types of makrofauna to get the results that are
presented in the form of histograms, can be seen in Picture 4 based on Picture 4. The family of
animals most frequently found is the family of annelids which is an earthworm
with an individual quantity of 16. While the fewest are the lice, termites,
crustaceae, centipedes and larvæ mollusca with a number of individuals 1. An
observation that has been done this conclusions may be drawn that is the
diversity of species of plants strongly influenced by bioindikator the ground (
makrofauna soil ). Makrofauna the ground is very influential and can be used as
bioindikator health / soil fertility. Factors that affect the health of the
land was the texture of land, hara, the availability of aëration, and the
ability to bind the ground. Viewed as the living space, land where factors, in
addition to physical and chemical life jasad-jasad makro and micro in the
ground should be able to support plant life. All the components interact and
interconnected form their own ecosystem terrestrial good for living things.
Keywords:
community terrestrial, biodiversity, bioindicator land, the diversity
of species, land macrofauna
ABSTRAK
Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui cara melakukan sampling pada
komunitas tumbuhan, mengidentifikasi jenis tumbuhan di lokasi sampling,
mengukur keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi sampling, mengukur
faktor-faktor kesehatan tanah, mengetahui keanekaragaman fauna tanah dan
mengetahui hubungan sebab akibat antara faktor kesehatan tanah dengan
keanekaragaman fauna. Pengamatan biodiversitas komunitas terestrial yang sudah
dilakukan mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk tabel dan data
dianalisis dengan Indeks Keanekaragaman yang berbeda-beda (H’, D, λ, N1,
N2 dan E). Berdasarkan tabel 1. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan pada plot pengamatan yang berukuran 2 m x 2 m tergolong sedang-tinggi.
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang sedang-tinggi ini kemungkinan disebabkan
oleh faktor biotik dan abiotik yang mendukung kehidupan tumbuhan itu sendiri.
Pengamatan Bioindikator tanah pada plot pengamatan 30 cm x 30 cm mendapatkan
hasil yang telah dianalisis dengan Indeks Simpson (λ) dan Indeks Shannon-Wiener
(H’) yang disajikan dalam bentuk tabel 2. Berdasarkan tabel 2. Nilai
keanekaragaman jenis Makrofauna dengan Indeks Shannon-Wiener tergolong sangat rendah
karena nilai H’ < 1 yaitu 0,49 dan nilai dominansi jenis makrofauna adalah
rayap dengan nilai dominansi paling tinggi yaitu 0,3. Nilai Indeks Simpson (λ) berdasarkan tabel 2.
tergolong sedang. Pada pengamatan hubungan makrofauna tanah dengan keanekaragaman
jenis tumbuhan didapatkan data yang disajikan dalam bentuk histogram yang dapat
dilihat pada Gambar 3. Hubungan H’ Makrofauna Tanah dan H’ Tumbuhan berdasarkan
Gambar 3. semakin tinggi nilai H’ makrofauna tanah maka semakin tinggi juga
kurva pada nilai H’ tumbuhan. Nilai H’ tumbuhan berada paling atas dengan nilai
sebesar 1,454 dan nilai H’ makrofauna sebesar 0,67. Pengamatan kelimpahan jenis
makrofauna mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk histogram, dapat
dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4. Famili hewan yang paling banyak
ditemukan adalah Famili Annelida yaitu cacing tanah dengan jumlah individu 16.
Sedangkan yang paling sedikit adalah kutu, rayap, crustaceae, larva kelabang
dan mollusca dengan jumlah individu 1. Pengamatan yang telah dilakukan ini
dapat ditarik kesimpulan yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan sangat dipengaruhi
oleh bioindikator tanah (makrofauna tanah). Makrofauna tanah sangat berpengaruh
dan dapat dijadikan sebagai bioindikator kesehatan/ kesuburan tanah. Faktor yang
mempengaruhi kesehatan tanah adalah tekstur tanah, ketersediaan hara, aerasi, dan kemampuan mengikat tanah. Tanah dipandang sebagai tempat kehidupan,
dimana selain faktor fisik dan kimia, kehidupan jasad-jasad makro dan mikro di
dalam tanah harus mampu mendukung kehidupan tanaman. Semua komponen tersebut berinteraksi dan saling
berkaitan membentuk ekosistem terestrial yang baik bagi makhluk hidup.
Kata kunci : Komunitas terestrial, biodiversitas, biondikator tanah,
keanekaragaman jenis, makrofauna tanah
PENDAHULUAN
Komunitas terestrial adalah kelompok organisme
yang terdapat di pekarangan, di hutan, di padang rumput, di padang pasir, dan
lain-lain. Biodiversitas pada komunitas terestrial dapat dijadikan sebagai
tolak ukur mengenai kondisi suatu ekosistem terestrial. Pada komunitas terestrial
juga terdapat bioindikator tanah yaitu makrofauna tanah. Makrofauna tanah
disini berperan penting dalam membuat kondisi tanah layak untuk tumbuhan.
Contohnya menyuburkan tanah, menggemburkan tanah dan sebagai detrivor atau
organisme pengurai. Komponen makrofauna ini bila dilihat dari perannya berperan
sangat penting bagi ekosistem terestrial. Bila salah satu komponen ini
terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang
menyebutkan bahwa makrofauna berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga
kestabilan ekosistem terestrial.
Ekosistem terestrial tidak boleh rusak karena
ekosistem ini yang akan menunjang kehidupan manusia, seperti daerah penyimpan
air dan juga sebagai habitat banyak makhluk hidup. Maka sudah sewajarnyalah
fungsi itu tetap kita pertahankan setinggi mungkin. (Cox, 1972)
Makrofauna tanah merupakan bagian dari
keanekaragaman hayati yang diduga mengalami penurunan yang tajam sebagai akibat
dari pencemaran lingkungan pada tanah. Oleh karena itu adanya pencemaran mempengaruhi
keadaan lingkungan pada umumnya dan keanekaragaman makrofauna tanah pada
khususnya. Makrofauna tanah memiliki arti penting pada ekosistem terestrial.
Pada ekosistem pertanian, makrofauna tanah berperan dalam pemeliharaan sifat
fisika, kimia dan biologi tanah, terutama sebagai dekomposer dan ‘soil engineer’ sehingga dapat
meningkatkan produktivitas suatu tumbuhan. (Makalew, 2001).
Penurunan keanekaragaman makrofauna tanah mngakibatkan
terjadinya perubahan keseimbangan komunitas sehingga dapat menimbulkan
dominansi spesies-spesies tertentu yang umumnya berpotensi sebagai hama tanaman
(Fragoso et al., 1997; Baker, 1998).
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui cara
melakukan sampling pada komunitas tumbuhan, mengidentifikasi jenis tumbuhan di
lokasi sampling, mengukur keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi sampling,
mengukur faktor-faktor kesehatan tanah, mengetahui keanekaragaman fauna tanah
dan mengetahui hubungan sebab akibat antara faktor kesehatan tanah dengan
keanekaragaman fauna.
MATERI
DAN METODE
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal
10 April 2013 mulai pukul 13.00 – 16.00 WIB di Semanggi, Ciputat dan analisis
data dilakukan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi
pada pengamatan biodiversitas komunitas terstrial dan metode hand sorting pada pengamatan bioindikator tanah.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah
tali rafia, patok, label, alat ukur/ meteran, pH indikator, soil tester,
termometer tanah, luxmeter, sekop
atau cangkul, pisau, plastik atau botol sampel dan pinset. Bahan yang digunakan meliputi faktor
biotik (suhu, intensitas cahaya, tanah) dan abiotik yang akan diukur (fauna
tanah dan tumbuhan)
Prosedur Kerja
Biodiversitas Komunitas Terestrial
Pertama yang dilakukan
adalah ditentukan lokasi sampling, lalu dibuat plot dengan ukuran 2 m x 2 m pada
tali rafia kemudian dibuat menyilang. Tali rafia diikatkan pada patok. Dibuat
plot kecil dalam plot besar dengan ukuran 30 cm x 30 cm. Ditandai tiap plot
lalu dihitung tumbuhan apa saja yang terdapat pada plot, kemudian dicatat jenis
tumbuhan, jumlah individu tumbuhan dan diidentifikasi tumbuhan tersebut.
Setelah semua jenis tumbuhan dihitung dan diidentifikasi, diukur faktor fisik
pada plot meliputi intensitas cahaya, suhu udara, suhu tanah, pH tanah dan
kelembaban tanah. Setelah data didapatkan kemudian dianalisis dengan indeks
Shannon-Wiener, Simpsons, Hill’s 1 dan 2 dan Margalef.
Biondikator Tanah
Pada pengmatan
bioindikator tanah dibuat lubang dengan kedalaman 30 cm pada plot kecil yang
berukuran 30 cm x 30 cm. Lubang dibuat menggunakan cangkul atau sekop. Setiap
organisme/ hewan tanah yang terlihat dicatat dan diidentifikasi. Data yang
didapatkan kemudian dianalisis dengan rumus Indeks Shannon-Wiener dan Indeks Simpson.
Analisis Data
Pada praktikum ini data yang didapatkan disajikan
dalam bentuk grafik dan tabel. Analisis data yang digunakan untuk menghitung
indeks Keanekaragaman Jenis pada Biodiversitas Komunitas Terestrial adalah
dengan Indeks Margalef (D), Indeks Shannon-Wiener (H’), Indeks Mc Artur (N1),
Indeks Hill’s (N2), Indeks Evennes (E).
D = (S -1)/ ln N
H’ = (S – 1)/ln N
N1 = eH’
N2 = 1/ λ
Keterangan : ni = Jumlah jenis ke-i
S = Jumlah jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Pi = Proporsi antara jumlah individu
jenis ke-i dengan jumlah individu seluruh jenis.
Pada bioindikator tanah analisis data dilakukan dengan Indeks
Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Simpson (S).
H’ = - ∑ (Pi) (log Pi)
S = 1 - ∑ ni (ni-1)/ N(N-1)
Keterangan : D = Dominansi
n = Jumlah individu dari masing-
masing spesies
N = Jumlah total individu dari semua
spesies
HASIL
Pengamatan struktur dan
komposisi makrofauna tanah sebagai bioindikator keanekaragaman jenis tumbuhan ini
mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk grafik dan tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan
Famili
|
Jumlah
individu
|
Indeks
|
Nilai
|
Araceae
|
2
|
H'
|
1,198263
|
Cucurbitaceae
|
52
|
D
|
0,800446
|
Poaceae
|
55
|
E
|
0,744
|
Amarantaceae
|
37
|
N1
|
3,28
|
Asteraceae
|
2
|
N2
|
1,44
|
Total :
|
148
|
Λ
|
0,689
|
Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
yang terdapat pada Tabel 1. Keanekaragaman jenis pada berbagai Indeks
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan tergolong sedang-tinggi.
Tabel 2. Keanekaragaman Jenis
Makrofauna
Berdasarkan Tabel 2. Keanekaragaman
jenis makrofauna yang ditemukan tergolong rendah karena nilai H’ < 1 dan
nilai dominansi jenis makrofauna adalah rayap dengan nilai dominansi paling
tinggi yaitu 0,3. Nilai Indeks Simpson (λ) berdasarkan tabel 2. tergolong sedang.
Gambar 3. Hubungan H’ Makrofauna dan
H’ Tumbuhan
Berdasarkan Gambar 3. Semakin tinggi nilai H’
makrofauna tanah maka semakin tinggi juga kurva pada nilai H’ tumbuhan. Nilai
H’ tumbuhan berada paling atas dengan nilai sebesar 1,454 dan nilai H’ makrofauna sebesar 0,67.
Gambar 4. Kelimpahan Jenis
Makrofauna Tanah
Berdasarkan Gambar 4. Famili hewan yang paling
banyak ditemukan adalah Famili Lumbricidae yaitu cacing tanah dengan jumlah
individu 16. Sedangkan yang paling sedikit adalah Aphididae, Achatinidae,
crustaceae, larva, dan Lucanidae dengan jumlah individu 1.
PEMBAHASAN
Praktikum kali ini
mengamati struktur dan komposisi makrofauna tanah sebagai bioindikator
keanekaragaman jenis tumbuhan. Makrofauna sangat berkaitan dengan biodiversitas
komunitas terestrial yang dilihat disini adalah tumbuhan. Berdasarkan Gambar 3.
Dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai H’ makrofauna maka nilai H’ tumbuhan
juga semakin naik.
Makrofauna tanah adalah
fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang
terdapat di dalam tanah. peranan terpenting dari makrofauna tanah di dalam
ekosistemnya adalah sebagai perombak bahan organik yang tersedia bagi tumbuhan
hijau. makrofauna tanah juga dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah.
Semakin subur suatu tanah maka semakin banyak tumbuhan yang hidup dan akan
semakin banyak pula jenisnya (biodiversitas komunitas terestrial) (Foth, 1994).
Peran makrofauna tanah
lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan yang mati, pengangkutan
materi organik dari permukaan ke dalam tanah, perbaikan struktur tanah, dan
proses pembentukan tanah. Dengan demikian makrofauna tanah berperan aktif untuk
menjaga kesuburan tanah atau kesehatan tanah (Adianto, 1993; Foth, 1994).
Salah satu organisme penghuni
tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna
tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat
bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna
tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik
tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan merombak substansi nabati
yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Secara
umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada tanah yang tidak terganggu seperti
padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinyu. Arief (2001), menyebutkan,
terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada
lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%. Mesofauna tanah
akan merombak bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya,
sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh
mikrobio tanah (Arief, 2001).
Makrofauna adalah hewan
yang mempunyai ukuran tubuhnya berkisar antara 2 – 20 mm, yang terdiri dari
hebivora (pemakan tanaman), dan karnivor (pemakanhewan kecil). Contohnya
Arthropoda yaitu Crustacea seperti
kepiting, Chilopoda seperti
kelabang, Diplopoda kaki
seribu, Arachnida seperti
labalaba, kalajengking, dan serangga (Insecta),
seperti kelabang, kumbang, rayap, lalat, jangkrik, lebah, semut, serta
hewan-hewan kecil lain yang bersarang dalam tanah (Hanafiah, 2006).
Berdasarkan Tabel 2
Keanekaragaman jenis makrofauna yang terdapat pada plot memiliki nilai H’ yang
tergolong keanekaragaman jenis rendah yaitu 0,493. Nilai H’ bertujuan untuk
mengetahui derajat keanekaragaman suatu ekosistem dalam suatu ekosistem.
Parameter yang menentukan nilai indeks keanekaragaman (H’) pada suatu ekosistem
ditentukan oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif pada suatu komunitas (Sugiyarto,
2003). Rendahnya nilai keanekargaman jenis makrofauna yang rendah ini
kemungkinan diakibatkan pencemaran dan faktor abiotik pada tanah itu sendiri
yang tidak mendukung untuk hidup makrofauna itu sendiri. Keanekaragaman fauna
berperan penting dalam menjaga kestabilan ekosistem, hal ini di pengaruhi oleh
faktor lingkungan, faktor biotik meliputi (tumbuhan dan hewan), faktor abiotik
(antara lain air, tanah, udara, cahaya, dan keasaman tanah) (Dindal, 1990).
Faktor lingkungan berperan sangat penting dalam
menentukan berbagai pola penyebaran fauna tanah. Faktor biotik dan abiotik
bekerja secara bersama-sama dalam suatu ekosistem, menentukan kehadiran,
kelimpahan, dan penampilan organisme.(Purwanti, 2003)
Besarnya indeks dominansi jenis makrofauna pada
lokasi pengamatan tersaji pada Tabel 2. Besarnya indeks dominansi menunjukkan
tingkat dominansi suatu jenis pada suatu tempat. Dominansi jenis makrofauna
yang tertinggi adalah rayap dengan nilai dominansi 0,3, sedangkan nilai
dominansi terendah adalah kelabang dan larva. Rayap adalah serangga sosial
anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama penting kehidupan
manusia, meskipun begitu dalam ekosistem terestrial rayap sangat berperan dalam
kesuburan tanah. Rayap bersarang di dan memakan kayu perabotan atau kerangka
rumah sehingga menimbulkan banyak kerugian secara ekonomi. Rayap masih
berkerabat dengan semut, yang juga serangga sosial. Dalam bahasa Inggris, rayap
disebut juga “semut putih” (white ant)
karena kemiripan perilakunya (Elzinga, 1979) Sedikitnya nilai dominansi larva
dan kelabang kemungkinan karena hewan-hewan tersebut hidup pada kedalaman >
30 cm dan adanya faktor pembatas yaitu air, sehingga jumlah yang ditemukan pada
lokasi pengamatan tergolong sedikit. Nilai Indeks Simpson (λ) berdasarkan
tabel 2. sebesar 0,6 dan tergolong sedang menurut Odum, (1975).
Gambar 5. Rayap
(Sumer : antirayap-ravthor.com)
Berdasarkan Gambar 4. Kelimpahan
jenis makrofauna yang tertinggi oleh hewan Famili Lumbricidae yaitu cacing
tanah dengan jumlah individu 16. Selain rayap, cacing (Annelida) juga sangat
berperan dalam menyuburkan tanah. Morfologi cacing tanah adalah cacing yang
tubuhnya beruas-ruas dengan seta di bagian luar tubuhnya. Keunikan ruas pada
cacing ini adalah setiap ruas memiliki morfologi dan anatomi yang sama
sehingga disebut dengan istilah metameri. Cacing disini berperan sebagai
penggembur tanah. Jumlah cacing tanah yang banyak ini disebabkan cacing tanah hidup di habitat
alami, cacing tanah hidup dan berkembang biak dalam tanah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kehidupan cacing tanah dihabitat alami adalah suhu atau temperatur
tanah yang ideal untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasankokonnya berkisar
antara 15 ºC – 25 ºC. Suhu tanah yang lebih tinggi dari 25 ºC masih cocok untuk
cacing tanah, tetapi harus diimbangi dengan kelembapan yang memadai dan naungan
yang cukup. Oleh karena itu, cacing tanah biasanya ditemukan hidup dibawah
pepohonan atau tumpukan bahan organik. Data faktor fisik yang kami dapatkan
yaitu suhu tanah adalah 23ºC, suhu ini masih baik untuk pertumbuhan cacing
tanah. Kelembapan tanah mempengaruhi pertumbuhan dan daya reproduksi cacing
tanah. Kelembapan tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat
menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila
kelembapan tanah tarlalu kering, cacing tanah akan segera masuk kedalam tanah
dan berhenti makan serta akhirnya akan mati. Cacing tanah tumbuh dan berkembang
biak dengan baik pada tanah yang bereaksi sedikit asam sampai netral. Keasaman
tanah (pH) yang ideal untuk cacing tanah adalah pH 6 – 7,2. Tanah yang pH-nya
asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing tanah, karena
ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif
terbatas. Di samping itu, tanah yang ber pH asam kurang mendukung proses
pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Bahan organik umumnya mengandung
protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral, sehingga merupakan pakan
utama cacing tanah. Bahan organik tanah dapat berupa kotoran ternak, serasah
atau daun-daun yang gugur dan melapuk, dan tanaman atau hewan yang mati. Makin
kaya kandungan bahan organik dalam tanah, makin banyak dihuni oleh
mikroorganisme tanah, termasuk cacing tanah. Cacing tanah dapat mencerna bahan
organik seberat badannya, bahkan mampu memusnahkan bahan organik seberat 2 kali
lipat berat badannya selama 24 jam. Oleh karena itu, cacing tanah yang hidup
dalam tanah yang kaya bahan organik dapat berfungsi sebagai pemusnah bahan
organik (dekomposer), dan kascingnya berguna untuk pupuk organik
penyubur tanah (Elzinga, 1979)
Gambar 6. Cacing tanah
(Sumber : gurungeblog.wordpress.com)
Gambar 4. menunjukkan
Famili hewan yang paling banyak ditemukan adalah Famili Lumbricidae yaitu
cacing tanah dengan jumlah individu 16. Sedangkan yang paling sedikit adalah
Aphididae, Achatinidae, crustaceae, larva, dan Lucanidae dengan jumlah individu
1. Sedikitnya jumlah makrofauna dengan jumlah individu 1 ini kemungkinan
disebabkan adanya faktor pemabatas. Faktor pembatas disini berupa air, setiap
digali tanah pada plot selalu keluar air. Ini disebabkan karena lokasi
pengamatan terletak dekat dengan sungai yang hanya berjarak beberapa meter saja
dari plot pengamatan.
Berdasarkan Tabel 1. Keanekaragaman jenis
tumbuhan, nilai keanekaragamannya tergolong sedang dengan nilai H’ sebesar
1,19. Data hasil biodiversitas komunitas terestrial yang dilakukan maka indeks kemerataan
jenis (E) pada berbagai jenis pertumbuhan di lokasi pengamatan disajikan dalam
Tabel 1. Menurut Indeks keanekaragaman
Shannon Wienner dijelaskan dengan pendekatan indeks kemerataan Evenness (E)
yang besarnya antara 0–1 (Ludwig & Reynold, 1988). Indeks kemerataan
menggambarkan tingkat kemerataan populasi suatu jenis tumbuhan yang diperoleh
dengan membagi nilai keanekaragaman dengan jumlah jenis yang ditemukan. Indeks
kemerataan jenis tumbuhan di lokasi pengamatan tergolong cukup merata dengan
nilai E sebesar 0,744. Bila nilai
indeks kemerataan tinggi, menandakan kandungan setiap taxon (jenis) tidak
mengalami perbedaan.
Data hasil biodiversitas komunitas terestrial yang dilakukan maka indeks keanekaragaman
jenis tumbuhan / Margallef (D) pada berbagai jenis tumbuhan di lokasi
pengamatan disajikan dalam Tabel 1. Dilihat dari nilai D maka keanekaragaman
jenis tumbuhan pada lokasi pengamatan tergolong rendah dengan nilai D sebesar
0,8. Menurut Jorgensen (2005), nilai D > 2,5 menunjukkan keanekaragaman
jenis tumbuhan pada plot pengamatan tergolong rendah.
Indeks Mc Artur dan Indeks Hill’s
(N1 dan N2) berdasarkan Tabel 1. Masing-masing mempunyai nilai sebesar 3,28 dan
1,44. N2 adalah jumlah species yang paling melimpah dan N1 adalah jumlah
species yang melimpah (N1 selalu diantara N0 dan N2). Nilai N2 yang > 1 ini
menunjukkan bahwa melimpahnya/ keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi
pengamatan tergolong melimpah. Nilai N1 umumnya memang lebih besar dari N2 dan
ini menunjukkan hal yang sama seperti halnya N2, yaitu keanekaragaman jenis
tumbuhan di daerah tersebut tergolong melimpah.
Indeks Simpson (λ) pada tabel 1.
Mempunyai nilai 0,68. Berdasarkan kriteria untuk tumbuhan, apabila indeks
keanekaragaman Simpson lebih kecil dari 0,6, menunjukkan bahwa telah terjadi
perturbasi (gangguan) terhadap kehidupan tumbuhan (Odum, 1995). Faktor utama
yang mempengaruhi jumlah organisme, keragaman jenis dan dominansi antara lain
adanya perusakan habitat alami seperti pengkonversian lahan, pecemaran kimia
dan organik, serta perubahan iklim (Sari, 2003). Nilai Indeks Simpson (λ) tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman
tumbuhan di lokasi pengamatan tergolong sedang.
Menurut Indeks Keanekaragaman yang
sudah dianalisis, semua Indeks menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan
di lokasi pengamatan yaitu Semanggi tergolong rendah-tinggi. Keanekaragaman
jenis tumbuhan yang tergolong sedang-tinggi ini didukung oleh faktor biotik dan
abiotik yang ada, seperti intensitas cahaya, kelembaban tanah, suhu udara, suhu
tanah, pH tanah dan makrofauna sebagai organisme pengurai yang dapat menyuburkan
tanah. Faktor yang sangat
berpengaruh pada kesehatan dan kesuburan tanah adalah tekstur tanah,
ketersediaan hara, aerasi, dan kemampuan mengikat tanah. Sedangkan ditinjau dari sudut kesehatan tanah, tanah dipandang sebagai tempat
kehidupan, dimana selain faktor fisik dan kimia seperti tersebut di atas,
kehidupan jasad-jasad makro dan mikro di dalam tanah harus mampu mendukung
kehidupan tanaman.
Kesimpulan dari pengamatan ini adalah keanekaragaman
jenis tumbuhan sangat dipengaruhi oleh bioindikator tanah (makrofauna tanah).
Makrofauna tanah sangat berpengaruh dan dapat dijadikan sebagai bioindikator
kesehatan/ kesuburan tanah. Faktor yang mempengaruhi kesehatan tanah adalah tekstur tanah, ketersediaan hara, aerasi, dan
kemampuan mengikat tanah. Tanah dipandang sebagai tempat kehidupan, dimana selain faktor fisik dan
kimia, kehidupan jasad-jasad makro dan mikro di dalam tanah harus mampu
mendukung kehidupan tanaman. Semua
komponen tersebut berinteraksi dan saling berkaitan membentuk ekosistem terestrial
yang baik bagi makhluk hidup.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan praktikum ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mardiansyah, M.Si dan Dina Anggraini,
S.Si selaku dosen yang telah membimbing saya dalam praktikum ini, serta
Muhammad Fazri Hikmatyar selaku assisten dan kepada Azkiya, Rima, Annisa, Gita,
Arman dan Udi yang telah membantu praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adianto, 1992. Biologi Pertanian.
Alumni. Bandung.
Arief, A. 2001. Hutan Dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta. 179 hal.
Baker GH. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture and other
land use practices on soil fauna in Australia. App.Soil Ecol. 9,303-310.
Berryman, Alan A. 1986. Population Problems a General Introduction.
Plenus Press. New York. Giller, K. E,
Handayanto, E. Cadisch, G. and. 1997. Regulating And Mineralization from Plant
Residues by Manipulation of Quality. In: Driven by Nature: Plant Litter Quality
and Decomposition. K.E. Giller and G. Cadisch (eds). CAB International,
Walingford, Oxon, UK. pp 175-185.
Cox, G.W. 1972. Laboratory
Mannual of General Ecology. Iowa: WMC Brown Company Publishers.
Dindal, D.L. (Ed.) 1990. Soil
Biology Guide. New York: John Wiley & Sons.
Elzinga, R.J. 1978. Fundamentals
of Entomology. New Delhi: Prentice Hall of India.
Foth, 1994. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Erlangga, Jakarta. 368 Hal.
Fragoso, C., G.G. Brown, J.C.
Patron, E. Blanchart, P. Lavelle, B. Pashanasi, B. Senopati, and T. Kumar.
1997. Agricultural. Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta.
Giller KE, Beare MH, Lavelle P, Izac
AMN, Swift MJ. 1997. Biology of
Springtails. New York (US): Oxford University. Press.
Hanafiah. A, Napoleon. A. dan
Ghosfar. N. 2003. Biologi Tanah. Ekologi
dan Makrobiologi Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ludwig, J. A., and J. F. Reynolds.
1988. Statistical Ecology A Primer on
Methods and Camputing, John Wiley & Sons, New York.
Maftu’ah, E., E. Arisoesiloningsih
dan E. Handayanto. 2002. Studi potensi
diversitas makrofauna sebagai bioindikator kualitas tanah pada beberapa
penggunaan lahan. Biosain 2: 34-47.
Makalew, A.D.N. 2001. Keanekaragaman
Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah.
Odum, Eugene P. 1995. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Purwanti. 2003. Diversitas
Makrofauna Tanah pada Berbagai Jenis dan Kombinasi Tanaman Sela di Bawah
Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di RPH
Jatirejo, Kediri. [Skripsi]. Surakarta: Jurusan Biologi, FMIPA UNS
Sari, S.G., E.A. Soesiloningsih dan
A.S. Leksono. 2003. Peningkatan
diversitas fauna tanah kritis berkapur di lahan jagung melalui sistem
tumpangsari DAS Brantas Kabupaten Malang. Prosiding Lokakarya Nassional
Pertanian Organik, Malang 7-9 Oktober 2002.
Sugiyarto, Y. Sugito, E. Handayanto,
dan L. Agustina. 2003. Pengaruh sistem
penggunaan lahan hutan terhadap diversitas makroinvertebrata tanah di RPH
Jatirejo, Kediri, Jawa Timur. BioSMART 4(2): 66-69.
Sumber Gambar : antirayap-ravthor.com
gurungeblog.wordpress.com
LAMPIRAN
Tabel 1. Makrofauna pada semua plot
pengamatan
Tabel 2. Makrofauna pada plot
pengamatan seluruh plot pengamatan
Tabel 3. Faktor Fisik
Tabel 4. Jumlah Seluruh Jenis
Tumbuhan pada seluruh plot
Tabel 5. Keanekaragaman jenis
tumbuhan
Jumat, 07 Juni 2013
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TERESTRIAL TANAH DAN DEKOMPOSISI
18.48
| Diposting oleh
Aldha Rizki Utami
TANAH
DAN DEKOMPOSISI
Aldha Rizki Utami1), Gita
Najla Aldila1), Arman Gaffar1), Rima Suciyani1),
Azkiya Banata1), Annisa Maulida1), Udi Rafiudin1)
Mardiansyah, M.Si2), Dina Anggraini,
S.Si2)
Ady Septianto Hermawan3)
1)Mahasiswa Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2)Dosen Praktikum Ekologi Terestrial
3)Assisten Praktikum Ekologi Terestrial
E-mail: aldharizki@gmail.com
15 Mei 2013
ABSTRACT
Land was home to a variety of small
animals. These animals do crop residue decomposition into nutrients that and
dig holes and tunnels that lead to the formation of water channels and air
circulation in the soil. Decomposition was a very complex process that involves
several factors. Leaf litter and wood that reaches the ground will rot and will
gradually be incorporated into the mineral soil horizon through the activity of
soil organisms. Gradual process of decomposition was in abundance, with the
most rapid rate of decomposition occurs in the first week. This was because the
new litter is still a lot of inventory elements that are food for the microbes
to the soil or decomposing organisms, so the litter quickly destroyed.
Observations that have been carried out aimed to determine the structure and
size of the cross-section in the ground, knowing fauna in the cross-section of
land, knowing the processes of decomposition and determine the factors that
affect decomposition. This observation has been done to produce data that can
be seen on the results and attachments. Observations weight and size of the
land to get the result that the larger the size of the land, then the land will
be more severe, and vice versa. Transverse profile of the soil showed that the
soil conditions and have different layers. Abundance of fauna that exist under
the canopy more numerous than the fauna was not under a canopy, under canopy
dominated by termites and fleas, not ticks under a canopy dominated.
Decomposition process aided by soil fauna and soil microorganisms that
decompose litter and the factors that affect decomposition are temperature, pH,
humidity, type of litter and environmental factors.
Keywords: soil, decomposition, decomposers,
litter, weight and size of the land, the rate of decomposition
ABSTRAK
Tanah merupakan tempat tinggal untuk bermacam-macam binatang kecil.
Binatang ini melakukan proses pembusukan sisa tanaman sehingga menjadi unsur
hara dan menggali lubang serta terowongan yang menyebabkan terbentuknya saluran
peredaran air dan udara di dalam tanah. Dekomposisi merupakan proses yang
sangat komplek yang melibatkan beberapa faktor. Sampah daun dan kayu yang
mencapai tanah akan membusuk dan secara bertahap akan dimasukkan ke dalam
horizon mineral tanah melalui aktivitas organisme tanah. Proses dekomposisi
berjalan secar bertahap, dimana laju dekomposisi paling cepat terjadi pada
minggu pertama. Hal ini dikarenakan pada serasah yang masih baru masih banyak
persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi
organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur. Pengamatan yang sudah
dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan ukuran di penampang
melintang tanah, mengetahui fauna yang ada di penampang melintang tanah,
mengetahui proses-proses terjadi dekomposisi dan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi dekomposisi. Pengamatan yang telah dilakukan ini menghasilkan data
yang dapat dilihat pada hasil dan lampiran. Pengamatan berat dan ukuran tanah
mendapatkan hasil bahwa semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat
tanah tersebut, begitu juga sebaliknya. Profil melintang tanah menunjukkan
keadaan tanah yang berbeda-beda dan
mempunyai lapisan-lapisan. Kelimpahan fauna yang ada dibawah kanopi lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan fauna bukan di bawah kanopi, di bawah kanopi didominasi rayap dan kutu,
bukan dibawah kanopi didominasi kutu. Proses dekomposisi dibantu oleh fauna
tanah dan mikroorganisme tanah yang mengurai serasah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, pH, kelembaban, tipe serasah dan faktor
lingkungan.
Kata kunci : tanah, dekomposisi, dekomposer, serasah, berat dan ukuran
tanah, laju dekomposisi
PENDAHULUAN
Tanah merupakan tempat tinggal untuk
bermacam-macam binatang kecil. Binatang ini melakukan proses pembusukan sisa
tanaman sehingga menjadi unsur hara dan menggali lubang serta terowongan yang
menyebabkan terbentuknya saluran peredaran air dan udara di dalam tanah. Dengan
menggali tanah, binatang-binatang kecil mencampur lapisanl-apisan tanah. Tanah
yang sehat mempunyai berbagai jenis binatang (bio-diversitas tinggi). Dominasi
oleh salah satu jenis binatang merupakan tanda adanya kemungkinan
ketidak-seimbangan pada tanah tersebut. Misalnya, terlalu banyak atau terlalu
sedikit air. Penggunaan pestisida juga bisa merusak keseimbangan biologis tanah
(Doeswono, 1998)
Nutrisi dikembalikan ke tanah dalam bentuk sampah
yang dilarutkan melalui kegiatan pengurai atau yang dikenal dengan istilah
dekomposisi. Dekomposisi serasah adalah perubahan fisik maupun kimiawi yang
sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya)
atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik
yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa organik sederhana
(Sutedjo et al., 1992).
Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek
yang melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et
al., 1998). Sampah daun dan kayu yang mencapai tanah akan membusuk dan
secara bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon mineral tanah melalui
aktivitas organisme tanah. Bahan organik yang ada di permukaan tanah dan
bercampur dengan mineral tanah adalah sumber yang penting bagi fosfor, kalsium,
kalium, magnesium, dan nutrisi lainnya. Pelepasan hara dari pembusukan bahan
organik di dalam tanah merupakan langkah
penting dalam fungsi ekosistem. Jika nutrisi diuraikan terlalu cepat, akan hilang melalui pencucian tanah atau
penguapan. Sebaliknya, jika dekomposisi terlalu lambat, hara yang disediakan
bagi tumbuhan jumlahnya sedikit maka
hasilnya pertumbuhan tanaman akan terhambat (Asri, 19990
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, contohnya pH, iklim (temperatur dan kelembaban), komposisi kimia
dari serasah, dan mikro organisme tanah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
laju dekomposisi di daerah tropis relatif lambat, hal ini dimungkinkan karena dedaunan pohon di tropis
bersifatsclerophyllous. Daun sclerophyllous antara lain daun-daun yang kuat dan memiliki rasio luas dan beratnya
rendah yang relatif tahan terhadap pembusukan.
Setidaknya selama tahap pertama dekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
Proses dekomposisi berjalan secar bertahap, dimana
laju dekomposisi paling cepat terjadi pada minggu pertama. Hal ini dikarenakan
pada serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan
makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat
hancur (Pleguezueolo, 2009).
Pengamatan kali ini bertujuan untuk mengetahui
struktur dan ukuran di penampang melintang tanah, mengetahui fauna yang ada di
penampang melintang tanah, mengetahui proses-proses terjadi dekomposisi dan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi.
MATERI DAN METODE
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu
tanggal 3 April 2013 sampai 24 April
2013 mulai pukul 13.00 – 16.00 WIB di Kampus 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan analisis data dilakukan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah
sekop/ cangkul, pisau, pinset, cawan, plastik/ botol sampel, oven, alat ukur
atau meteran, pH meter, saringan bertingkat, timbangan, mikroskop, soil tester,
termometer tanah, kertas label, kantong sampah (litter bags) 10 buah yang terbuat dari kain kassa berukuran 20 x 10
cm dan kuas. Bahan yang digunakan meliputi faktor abiotik (tanah, serasah daun
dan rumput, suhu tanah, intensitas cahaya, pH tanah) dan biotik yang akan diukur (hewan).
Prosedur Kerja
Pertama yang dilakukan
adalah ditentukan lokasi untuk menggali tanah sedalam 30 cm. Dibagi dua
kelompok, 3 kelompok menggali tanah dibawah kanopi, 2 elompok menggali tanah
tidak dibawah kanopi Setelah digali, diukur pH tanah kemudian lihat penampang
melintang tanah. Diambil sampel tanah sebanyak 10 gram lalu dioven dengan suhu
60°C selama 1 jam, setelah itu tanah disaring.
Diambil serasah yaitu berupa daun sebanyak masing
- masing 10 gram yang dimasukkan ke dalam kantung. Dilakukan juga hal yang sama
pada serasah rumput. Setelah itu dicatat kondisi serasah (fauna % kerusakan),
kemudian diletakkan pada lantai hutan. Diukur faktor fisiknya yaitu intensitas
cahaya, suhu udara, kelembaban tanah dan pH tanah
Diamati selama 4 minggu
dengan interval waktu 1 minggu, setiap minggu diuukur faktor fisik, kondisi
serasah, fauna) diambil 2 kantung perminggu. Data yang didapatkan dianalisis
dan disajikan dalam bentuk histogram dan tabel.
Analisis Data
Percobaan ini menghasilkan data fauna tanah,
persentase kerusakan daun dan ruput dan berat daun dan rumput. Data yang
didapatkan disajikan dalam bentuk grafik histogram dan tabel.
Histogram dan tabel dapat dilihat pada hasil dan lampiran.
HASIL
Pengamatan tanah dan
dekomposisi ini mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk grafik histogram dan
tabel sebagai berikut.
Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di
Bawah Kanopi
Berdasarkan Gambar 1. Berat
Daun dan Serasah di Bawah Kanopi, berat daun paling tinggi berada pada minggu
ke 2 dengan berat 6,33 gram, sedangkan berat daun paling rendah berada pada
minggu terakhir dengan berat 0, 77 gram. Berat rumput tertinggi berada pada
minggu ke ke 1 dengan berat 11,27 gram, sedangkan berat rumput terendah pada
minggu ke 3 atau minggu terakhir dengan berat 4,57 gram.
Gambar 2. Berat Daun dan Serasah
tidak di Bawah Kanopi
Berdasarkan Gambar 2. Berat
Daun dan Serasah tidak di Bawah Kanopi, berat daun tertinggi pada minggu ke 2
dengan berat 5, 4665 gram, sedangkan berat daun terendah pada minggu ke 3
dengan berat 3, 014 gram. Berat rumput tertinggi pada minggu ke 0 dengan berat
10, 01335 gram.
Gambar 3. Persentase Kerusakan
Serasah Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan
daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 85 %,
sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase
sebesar 15 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan
persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput
terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Gambar 4. Persentase Kerusakan
Serasah Bukan Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi, presentase
kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar
65 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase
sebesar 10 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan
persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput
terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada
minggu ke 2 didominasi oleh hewan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 50
dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 33. Kelimpahan fauna terendah pada minggu
ke 0, ditemukan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 2 dan cacing tanah
(Lumbricidae) dengan jumlah individu 1.
Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi
pada minggu ke 2 didominasi oleh kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 21
pada daun dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 7 pada rumput. Kelimpahan
fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan kumbang tanah (Formicidae) dengan
jumlah individu 1.
Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah
Berdasarkan Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah,
tanah dengan berat tertinggi dengan ukuran 630 µm denga berat 5, 9373 gram,
sedangkan tanah yang paling ringan berukuran 0, 033 µm dengan berat 0, 0835
gram.
PEMBAHASAN
Pengertian Dekomposisi
Praktikum kali ini
mengamati tanah dan dekomposisi. Dekomposisi sendiri adalah proses alami dari
hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Proses ini dilakukan
oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Organisme pengurai menyerap sebagian
hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat
digunakan kembali oleh produsen. Organisme yang tergolong pengurai adalah
bakteri dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan
pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Proses
ini dilakukan oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Hasil dekomposisi adalah
bahwa blok bangunan yang diperlukan untuk kehidupan dapat didaur ulang. Dekomposisi merupakan proses yang sangat kompleks yang
melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et al.
1998).
Semua organisme hidup di bumi akhirnya akan mati.
Banyak tanaman secara alami melengkapi siklus hidup mereka dan mati dalam waktu
satu tahun. Jika setiap organisme yang mati tidak membusuk dan membusuk,
permukaan bumi akan segera tertutup lapisan mendalam mayat yang akan tetap utuh selamanya. Situasi
yang sama akan timbul jika limbah hewan dan tumbuhan tidak pernah membusuk. Hal
ini tidak terjadi karena organisme mati dan limbah hewan menjadi makanan atau
habitat bagi beberapa organisme lain untuk hidup (Chapin, 2002).
Dekomposisi adalah proses alami dari hewan mati
atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Sedangkan Pengurai atau
dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari
organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan
yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil
penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan
kembali oleh produsen (Prescot, 2005).
Jenis-jenis Dekomposisi
Organisme yang tergolong pengurai adalah bakteri
dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang
memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dekomposisi
ada tiga, yaitu:
1. Aerobik : oksigen adalah
penerima elektron oksidan.
2. Anaerobik : oksigen tidak
terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan.
3. Fermentasi : anaerobik namun
bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron.
Komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan
ekosistem yang teratur (Edward, 1998).
Kelimpahan Fauna Tanah (Dekomposer)
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik
di permukaan tanah maupun di dalam tanah.Tanah merupakan suatu bentangan alam
yang tersusun dari bahan- bahan mineral yang merupakan hasil pelapukan sisa-sisa
tumbuhan dan hewan lainnya. Kelompok hewan tanah sangat beranekaragam, menurut
ukurannya ada yang digolongkan menjadi makrofauna tanah, mesofauna tanah, dan
mikrofauna tanah. Ukuran mikrofauna berukuran 20 - 200 mikron. Mesofauna
berukuran 200 mm - 1cm. sedangkan makrofauna berukuran lebih dari 1 cm. Hewan
tanah mempunyai peranan yang cukup besar dalam penentuan kualitas tanah, terutama
dalam proses pengurayan material organik tanah. Selain itu hewan tanah juga
dapat memperbaiki struktur tanah (Partaya, 2002).
Proses dekomposisi material organik merupakan
hasil aktifitashewan tanah dan mikro flora tanah. Keikutsertaan hewan tanah
dalam proses dekomposisi bisa secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung karena organisme tersebut memakan dan menghancurkan material organik,
dan secara tidak langsung berupa keikutsertaannya meningkatkan jumlah
mikroflora tanah yang juga berperan dalam proses dekomposisi material organik
tanah (Borror, 1992).
Selain itu hewan tanah juga berperan dalam
memberikan nilai tukar kation tanah dan menyumbangkan nitrogen bagi tanah. Hewan
tanah yang mati ,tubuhnya akan terurai dan lebih lanjut senyawa yang mengandung
nitrogen akan diserap dan dimanfaatkan kembali oleh tumbuh- tumbuhan. Hewan
tanah sebagai salah satu komponen dalam ekosistem juga memerlukan keberadaan
komponen lain dari ekosistem itu, yaitu komponen biotik seperti vegetasi
tumbuhan dan mikroflora tanah, dari komponen abiotik yaitu tanah dan iklim
(Brussaard, 1998).
Selain fauna tanah/ organisme tanahh, ada juga mikroorganisme
tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai
produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke udara. Ada dua
proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu dekomposisi
bahan organik tanah dari humus, dan dekomposisi dari sisa tanaman yang
ditambahkan (Foth, 1988).
Dekomposer adalah
organisme yang mengubah molekul organik menjadi anorganik. Dekomposer merupakan
organisme heterotrof yaitu organisme yang tidak bisa membuat makanan sendiri
sehingga harus mendapatkan makanan dari organism lain. dengan cara menguraikan
sisa-sisa makanan. decomposer utama dalam ekosistem adalah jamur dan bakteri,
namun ada juga organisme lain yang ikut berperan seperti serangga tanah, semut,
rayap dan cacing tanah. Hal yang menganggu dan mempersempit aktivitas
dekomposer adalah praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan,
penggunaan pestisida serta kecilnya kandungan bahan organik (Hakim, 1986).
Dekomposisi
adalah proses penguraian yang
dilakukan oleh dekomposer untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dikomposer
terutama jamur dan bakteri mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk
peroses kamis spesifik, adapun jenis dekomposer tidak ada satupun yang mampu
melaksanakan dekomposisi secara total, namun populasi dekoposer yang beraneka ragam
jenisnya di alam mempunyai kemampuan yang beraneka ragam pula shingga dapat
melaksana proses dekomposisi secara tuntas dimana kecepatan dekomposisi
dipengaruhi olah banyak faktor diantaranya temperator dan kelembapan, dalam
proses dekomposisi sendiri dihasilkan berbagai zat kimia yang mempunyai dampak
positif sebagai peraysang temperature dan mempunyai dampak uegatif positif
sbagai penghambat pertumbuhan, dimana zat yang dihasilkan disebut dengan
hormone lingkungan, dimana hasil dari dekomposisi tidak hanya berbentuk bahan
makanan tetapi juga kimiawi (Hardjowigeno, 1987).
Hewan-hewan dekomposer banyak ditemukan ditempat
lembab, hal ini karena dalam tempat lembab banyak terdapat zat-zat sisa makanan
yang akan di uraikan. Sedangkan di tempat kering tidak/ jarang ditemukan hewan
dekomposer. Karena di tempat kering hanya terdapat sedikit bahan makanan yang
dibutuhkan oleh dekomposer. Hal ini dibuktikan pada Gambar 5 dan 6 pada hasil
pengamatan. Jumlah fauna di bawah kanopi lebih banyak daripada bukan dibawah kanopi.
Hewan yang ditemukan tergolong mesofauna (mikroartrropoda, cacing) dan
makrofauna (cacing tanah, insecta dan artropoda) berdasarkan ukuran tubuhnya
(Kartasapoetra, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan jenis dekomposer yang
di temukan di tempat lembab dan tanah gembur, hal ini di sebabkan karena
beberapa faktor yaitu keadan tanah, suhu dan sisa hewan / tumbuhan yang
terdapat pada tanah itu. Dekomposer adalah makhluk hidup yang bertugas
menguraikan sisa-sisa makhluk hidup lain (bangkai dan sampah) menjadi komponen
penyusun tanah. Berhubungan dengan fungsinya tersebut pengurai sering dianggap
sebagai pembentuk lingkungan baru bagi produsen hasil penguraian berupa
bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan baku makanan bagi tumbuhan seperti
jamur dan bakteri. Jenis dekomposer di bawah kanopi ditemukan Lumbricidae
(cacing tanah), Formicidae (semut), Psyllidae (kutu tanah) dan Rhinotermitidae
(rayap).
Berdasarkan Gambar 5. Kelimpahan
Fauna Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi
oleh hewan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 50 dan kutu (Psyllidae)
dengan jumlah individu 33. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0,
ditemukan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 2 dan cacing tanah
(Lumbricidae) dengan jumlah individu 1.
Jenis dekomposer bukan di bawah kanopi ditemukan kutu
(Psyllidae), semut (Formicidae), laba-laba (Salticidae), dan kumbang tanah
(Carabidae). Berdasarkan Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi,
kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi oleh kutu (Psyllidae)
dengan jumlah individu 21 pada daun dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu
7 pada rumput. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan kumbang
tanah (Formicidae) dengan jumlah individu 1.
Jumlah cacing tanah yang ditemukan sedikit, karena
cacing tanah sangat menyukai tempat yang lembab dan gembur yang banyak
mengandung sisa hewan/ tumbuhan yang mati. Hal ini didukung dengan adanya
pengukuran faktor fisik (lampiran). Itu disebabkan karena di lingkungan lembab tertimbun
banyak mahluk hidup yang telah mati, seperti kayu yang sudah lapuk, oleh karena
itu kehidupan terjadi dari yang abiotik (kayu yang sudah mati) ke biotik (kayu
itu sebagai makanan pengurai/decomposer). Cacing tanah sendiri merupakan dekompuser yang mendapatkan
makanan dari hasil dekomposisi. Cacing tanah selain berfungsi sebagai
pengemburan tanah dan penyubur tanah juga sebagai pengurai. Cacing tanah
mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk proses kimia. Enzim ini dimasukkan ke dalam organisme mati
dan sebagian hasil dekomposisi diserap oleh decomposer sebagai makanannya. Sisa dari decomposer inilah yang menyuburkan
tanah dan penyediaan udara untuk pernapasan jasad renik ( mikroba) melalui
lubang-lubang yang telah dibuat di dalam tanah (Lavelle, 1999).
Di tempat yang kering atau bukan di bawah kanopi tidak di
temukan cacing tanah, karena tempat
kering tidak sesuai dengan habitatnya bahkan tidak ada sisa-sisa organisme mati
sehingga sulit untuk melakukan proses dekomposisi untuk mendapatkan makanan. Daerah
yang tertutupi kanopi banyak ditemukan rayap dan kutu, berlimpahnya jenis ini
kemungkinan diakibatkan faktor fisik, kimia dan biologi yang mendukung
kehiduupan dekomposer tersebut (Sugiyarto, 2000).
Penggunaan pestisida dan pupuk buatan seperti
pupuk Nitrogen, pupuk Fosforus, pupuk Kalium dan lain sebagainya sangat
mengganggu aktivitas decomposer, hal ini disebabkan karena kandungan kimia
masing-masing pupuk akan menyebabkan tanah bersifat asam, tanah asam disebabkan
oleh kelebihan superfosfat yang dapat meningkatkan konsentrasi Hidrogen dalam
tanah. Tentu saja hal ini akan menghambat aktifitas dekomposer bahkan dapat
membunuh dekomposer, karena menyerap tanah yang asam akibat dari bahan kimia
pupuk-pupuk tersebut. Dapat dipastikan di tempat tersebut huga tidak ada bahan
organik yang di serap oleh dekomposer (Poerwowidodo, 1992)
Perbandingan Kecepatan Dekomposisi di Bawah Kanopi dan Bukan di Bawah Kanopi Dilihat Dari
Berat Serasah dan Persentase Kerusakan
Kecepatan dekomposisi dapat diketahui dari
banyaknya bobot sampah organik yang terdekomposisi setiap interval
waktunya. Kecepatan dekomposisi dapat
dilihat dari bobot sampah organik yang terdekomposisi dan persentase
kerusakan serasah/ sampah organik (Wang, 2010).
Serasah merupakan material organik yang mampu
diuraikan oleh mikroorganisme dan organisme kecil lain. Material organik
diuraikan oleh mikroorganisme karena berperan sebagai sumber energi dan makanan
bagi mikroorganisme tersebut. Hasil penguraian oleh mikroorganisme akan berguna
sebagai penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping
sebagai sebagai sumber energi bagi mikroorganisme juga sebagai sumber hara bagi
tanaman (Yang,
2004).
Berdasarkan
Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di Bawah Kanopi, berat daun paling tinggi
berada pada minggu ke 2 dengan berat 6,33 gram, sedangkan berat daun paling
rendah berada pada minggu terakhir dengan berat 0, 77 gram. Berat rumput
tertinggi berada pada minggu ke ke 1 dengan berat 11,27 gram, sedangkan berat rumput
terendah pada minggu ke 3 atau minggu terakhir dengan berat 4,57 gram.
Berdasarkan Gambar 2. Berat Daun dan Serasah tidak
di Bawah Kanopi, berat daun tertinggi pada minggu ke 2 dengan berat 5, 4665
gram, sedangkan berat daun terendah pada minggu ke 3 dengan berat 3, 014 gram.
Berat rumput tertinggi pada minggu ke 0 dengan berat 10, 01335 gram.
Berdasarkan Gambar
3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan daun
tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 85 %, sedangkan
persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar
15 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase
kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput terendah pada
minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Berdasarkan
Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi, presentase
kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar
65 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan
persentase sebesar 10 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3
dengan persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput
terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Dapat dibandingkan bahwa semakin lama serasah daun
dan rumput diletakkan diatas tanah maka semakin sedikit beratnya dan semakin
besar persentase kerusakannya. Hal ini terjadi karena bantuan dekomposer yang
membantu mengurai sampah organik/ serasah daun dan rumput. Penguraian serasah
daun dan rumput lebih cepat terjadi pada daerah yang ditutupi kanopi,
ditunjukkan denga berat serasah yang berkurang signifikan pada pengamatan
minggu terakhir. Hal yang sama ditunjukkan juga pada persentase kerusakan
serasah, daerah yang ditutupi kanopi persentase kerusakan serasahnya lebih
besar dibandingkan dengan persentase kerusakan serasah di daerah yang tidak
ditutupi kanopi.
Hampir sama seperti kelimpahan fauna/ dekomposer,
daerah yang ternaungi kanopi lebih lembab, banyak tersedia sumber kehidupan
bagi dekomposer dan faktor fisik yang sangat mendukung kehidupan dekomposer.
Jumlah dekomposer yang banyak mengakibatkan serasah cepat terdekompososisi.
Begitu juga sebaliknya pada daerah yang tidak tertutupi kanopi, suhu yang
panas, tidak lembab menyebabkan dekomposer sedikit dan serasah terdekomposisi
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan daerah yang tertutupi kanopi.
Setiap organisme memliki kisaran suhu optimum
untuk kelangsungan hidupnya Kelembaban udara berpengaruh terhadap dekomposisi serasah
karena memberikan kondisi optimum untuk penguraian material organik menjadi
material organik yang lebih sederhana maupun menjadi material anorganik. Jumlah
mikroorganisme dan organisme berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah
karena semakin banyak mikroorganisme dan organisme kecil lainnya, semakin cepat
pula proses dekomposisi. Keragaman organisme berkaitan dengan interaksi antara
orgnisme. Interaksi yang mungkin terjadi antara lain sinergisme dan
antagonisme. Semakin kompleks kandungan kimia suatu serasah, semakin lama
proses dekomposisinya (Sugiyarto, 2000).
Serasah diuraikan oleh kompleks mikroorganisme,
baik bakteri, jamur, lipan maupun kumbang tanah. Serasah diuraikan oleh
mikroorganisme menjadi material anorganik untuk dimanfaatkan kembali oleh
tumbuhan. Dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara,
jumlah dan keragaman mikroorganisme serta kandungan kimia serasah (Suhardjono,
1998).
Sulistiyanto (2005) mengatakan bahwa laju
dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.
Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna
mikro dan kandungan kimia dari serasah. Kecepatan dekomposisi seresah daun dan
rumput dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah
seperti kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe serasah
mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa
kompleks yang terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk
didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa
berikutnya yang relatif cepat didekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
2. Temperatur
Kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada
suhu 24 ºC. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi
mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar
10°C akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat. Akan
tetapi penambahan suhu maksimal dapat mematikan organisme pendegradasi serasah.
Berdasarkan Tabel 1. Faktor Fisik (lampiran), daerah yang tertutupi kanopi
mempunyai suhu udara berkisar 27 - 31°C dan suhu tanah 27 - 28°C (Sulistiyanto,
2005).
3. Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH,
dimana aktivitas selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH optimum
untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya
hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim
ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang
disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada
aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada
enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH. Berdasarkan Tabel 1. Faktor
Fisik (lampiran), daerah yang tertutupi kanopi mempunyai pH berkisar 4 – 8,9
(Sulistiyanto, 2005)
Faktor-faktor Pengendali Dekomposisi
Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe
faktor, yaitu kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat
yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba
(Asri, 1999).
Kondisi Lingkungan Fisik :
Temperatur
Temperatur mempengaruhi proses dekomposisi secara
langsung dengan meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan
mengubah kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke
dalam tanah. Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam
proses respirasi mikroba pada rentang temperatur yang luas –mempercepat
mineralisasi karbon organik menjadi CO2. Keadaan temperatur yang
tinggi secara terus menerus menyebabkan proses dekomposisi berlangsung dengan
lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak efek tidak langsung terhadap proses
dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi kelembaban tanah dengan meningkatkan
proses evaporasi dan transpirasi. Stimulasi aktivitas mikroba oleh temperatur
yang hangat juga menginisiasikan serangkaian perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi proses
dekomposisi. Di sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi pada
temperatur tinggi meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan
oleh tanaman –mengubah substrat yang tersedia untuk dekomposisi. Temperatur
yang tinggi juga meningkatkan tingkat pelapukan kimia, yang dalam jangka pendek
menyebabkan peningkatan pasokan nutrisi. Sebagian besar efek tidak langsung
dari temperatur menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi tanah pada suhu
yang hangat dan memberikan kontribusi pada proses dekomposisi yang lebih cepat
(diamati pada kondisi iklim hangat) (Asri, 1999)..
Kelembaban
Dekomposer mengalami kondisi paling produktif
dalam kondisi lembab yang hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia) kondisi
yang menyebabkan tingkat dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat
dekomposisi umumnya mengalami penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari
30 sampai 50% dari massa kering –dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan
lembab pada permukaan tanah yang menyebabkan penurunan kecepatan difusi
substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi juga mengalami penurunan pada kadar
kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih besar dari 100 hingga 150% dari
massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu yang membusuk, terdapat lingkungan
mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menyebabkan
tingkat laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh
jumlah pasokan oksigen). Tingkat dekomposisi batangan kayu umumnya mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya diameter batang tersebut –karena ukuran
batangan besar umumnya memiliki lebih banyak uap air dan lebih sedikit oksigen
(Asri, 1999).
Properti
Tanah
Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada
kondisi netral daripada kondisi asam. Peningkatan secara menyeluruh di tingkat
dekomposisi pada pH yang lebih tinggi mungkin mencerminkan adanya kompleksitas
interaksi antar faktor, termasuk perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan
terkait dengan perubahan dalam kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari
penyebab perubahan keasaman dan komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah
cenderung dikaitkan dengan tingkat dekomposisi yang rendah(Asri, 1999).
Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat
dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan
organik tanah. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan
kapasitas pegang air (water-holding capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya
pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah
lempung basah. Bahkan pada kelembaban tanah yang sedang, mineral lempung dapat
meningkatkan akumulasi bahan organik dengan: mengikat bahan organik tanah;
mengikat enzim mikroba; dan mengikat produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat
dikatakan, efek akhir dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini
adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi
(Asri, 1999).
Gangguan
pada Tanah
Gangguan pada tanah berpengaruh pada peningkatan
dekomposisi dengan mempromosikan proses aerasi serta mengekspos permukaan baru
untuk proses penyerangan oleh mikroba. Mekanisme dimana proses gangguan ini
merangsang terjadinya dekomposisi pada dasarnya sama pada semua skala; mulai
dari pergerakan cacing di dalam tanah sampai proses pengolahan tanah pada
bidang pertanian. Peristiwa proses ini pada hakikatnya mengganggu agregat tanah
sehingga bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terbuka
terhadap oksigen dan kolonisasi oleh mikroba. Dampak gangguan pada tanah ini
yang paling menonjol terlihat pada keadaan tanah basah yang hangat –dimana
proses aerasi yang telah meningkat ini besar pengaruhnya terhadap proses
dekomposisi (Asri, 1999).
Kualitas dan Kuantitas Substrat
Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tingkat dekomposisi
pada dasarnya merupakan konsekuensi yang logis dari jenis senyawa kimia yang
hadir dalam serasah atau sampah tersebut. Senyawa-senyawa ini dapat
dikategorikan diantaranya sebagai senyawa metabolik labil (seperti gula dan
asam amino), senyawa struktural agak labil (seperti selulosa dan hemiselulosa),
dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan cutin). Sampah yang cepat
membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas konsentrasi yang lebih
tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih rendah pada senyawa
solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam
menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan
struktur, toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai
prediktor tingkat laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling
berkorelasi. Rasio perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C :
N) misalnya, sering digunakan sebagai indeks dari kualitas sampah; karena
sampah dengan rasio “C : N” yang rendah (konsentrasi nitrogen tinggi) umumnya
mengalami dekomposisi yang cepat. Namun, bukanlah konsentrasi nitrogen dari
sampah maupun ketersediaan nitrogen dalam tanah yang secara langsung
mempengaruhi tingkat dekomposisi pada ekosistem alami; hal ini menunjukkan
bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti kimiawi yang langsung mengontrol
proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk kondisi sampah solid, rasio
konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan sebagai prediktor
tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting kualitas karbon
dalam menentukan tingkat dekomposisi (Asri, 1999).
Materi
Organik Tanah
Materi organik tanah dihasilkan dari sampah
melalui proses fragmentasi oleh invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh
mikroba. Setelah mikroba ini mati, komponen chitin serta komponen solid lain
pada dinding sel mikroba tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi
massa dari sampah (massa sampah sebelum yang ditambah massa mikroba) dan
reaksi-reaksi non-enzimatik yang menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini
berakibat terjadinya pengurangan kualitas bahan organik tanah secara bertahap
(penuaan) -rasio “C : N” juga mengalami penurunan seiring proses dekomposisi
berjalan. Dapat disimpulkan, pada proses dekomposisi terhadap materi organik
tanah (seperti halnya pada sampah), kualitas karbon dapat dikatakan merupakan
alat prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik (Asri, 1999).
Sudah menjadi sifat heterogen dari materi organik
tanah yang membuatnya sulit dalam pengidentifikasian kontrol kimiawi atas
proses dekomposisi materi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya percampuran
senyawa organik dari usia yang berbeda dengan komposisi kimiawi.
Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah ini dapat dipisahkan
melalui sentrifugasi kerapatan, karena partikel baru bersifat kurang padat
apabila dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada partikel
mineral tanah. Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah yang
besar dalam pecahan ringan umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi.
Sebagai alternatif lain, tanah dapat dipisahkan secara kimiawi menjadi
pecahan-pecahan yang berbeda, seperti senyawa air terlarut, asam humic, dan
asam fulvat –yang berbeda dalam usia rata-rata dan kemudahan dalam penguraian.
Materi organik tanah secara rata-rata umumnya memiliki waktu tinggal (residence
time) antara 20 sampai 50 tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran
antara 1 sampai 2 tahun pada lahan budidaya hingga ribuan tahun pada lingkungan dengan tingkat dekomposisi yang
lambat (Asri, 1999).
Komposisi Komunitas Mikroba dan
Kapasitas Enzimatis
Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada
komposisi komunitas mikroba dan sifat dari matriks tanah. Komposisi dari
komunitas mikroba berperan sangat penting karena komposisi tersebut sangat
berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi enzim. Enzim pemecah substrat
umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh begitu banyak jenis mikroba
(dimana jenis enzim-enzim ini memang secara universal sering djumpai di dalam
tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam proses-proses yang hanya terjadi
dalam lingkungan tertentu, seperti proses denitrifikasi (atau produksi metana)
dan oksidasi, tampak lebih sensitif terhadap komposisi komunitas mikroba ini.
Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di
dalam tanah, baik oleh degradasi oleh protease tanah atau dengan cara mengikat
mineral tanah. Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau
mikroba mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan
pengikatan terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau
memblokir lahan aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya
(Asri, 1999).
Profil
Tanah
Tanah adalah lapisan nisbi tipis pada permukaan kulit. Tanah bervariasi
dari satu tempat ke tempat yang lain, karena keaneka ragaman ini, maka tanah
dapat dipandang sebagai kumpulan individu-individu tanah. Pembentukan tanah
dari bongkahan bumi mulai dari proses-proses pemecahan atau penghancuran dimana
bahan induk berkeping-keping secara halus. Tiap tanah berkembang secara baik
dan masih dalam keadaan asli akan
mempunyai sifat profil yang khas. Sifat-sifat ini yang dipakai dalam
klasifikasi dan penjarangan tanah yang sangat besar manfatnya dalam menentukan
pendapat tentang tanah dan sifat-sifat profil (Foth, 1994).
Pengenalan tanah di lapangan dilakukan dengan mengamati menjelaskan
sifat-sifat profil tanah. Profil tanah adalah urutan-urutan horison tanah, yakni
lapisan-lapisan tanah yang dianggap sejajar permukaan bumi. Profil tanah
dipelajari menggali tanah dengan dinding lubang vertikal kelapisan yang lebih
bawah (Foth, 1994).
Profil tanah merupakan suatu
irisan melintang pada tubuh tanah, dibuat dengan cara membuat lubang dengan
ukuran panjang dan lebar serta kedalaman tertentu sesuai dengan keadaan tanah
dan keperluan penelitian. Tanah merupakan tubuh alam yang terbentuk dan
berkembang akibat terkena gaya-gaya alam (natural forces) terhadap
proses pembentukan mineral. Pembentukan dan pelapukan bahan-bahan organik
pertukaran ion-ion, pergerakan dan pencucian bahan-bahan koloid (Foth, 1994).
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya dari fraksi tanah halus. Berdasar atas
perbandingan anyaknya butir-butir pasir, debu, liat maka tanah dikelompokkan
kedalam beberapa kelas tekstur. Dalam klasifikasi tanah tingkat famili kasar
halusnya tanah ditunjukkan dalam kelas sebaran besar butir yan mencakup seluruh
tanah. Kelas besar butir merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah
tetapi dengan memperhatikan pula banyaknya fragmen batuan atau fragsi tanah
yang lebih besar dari pasir. Tanah-tanah bertekstur liat ukuran butienya lebuh
halus maka setiap satuan berat mempunyai luas luas permukaan yang lebih besar
sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah yang
bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar
(Hardjowigeno, 1987). Berdasarkan Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah, semakin
besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah tersebut. Semakin kecil ukuran
tanah tersebut maka akan semakin ringan tanah tersebut.
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah.
Gumpalan struktur ini terjadi karena butir pasir, debu, liat terikat satu sama
lain oleh suatu perekat seperti bahan organik oksida-oksida besi dan lain-lain.
Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan atas kemantapan atau
ketahanan bentuk struktur tanah tersebut terhadap tekanan. Didaerah curah hujan
tinggi seperti pada profil dalam dan dangkal umunya ditemukan struktur remah
atau granular dipermukaan dan gumpal di horison bawah. Hal ini sesuai dengan
jenis tanah dan tingkat kelembaban tanah. Tanah-tanah dipermukaan banyak
mengandung humus biasanya mempunyai tingkat perkembangan yang kuat (Foth, 1994).
Warna tanah merupakan petujuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab
perbedaan warna permukaan tanah pada umumnya oleh perbedaan bahan organik.
Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Bahan organik
memberi warna kelabu, kelabu tua atau coklat tua pada tanah kecuali bila bahan
dasarnya tertentu sperti oksida dan besi atau penimbunan garam memodifikasi
warna. Akan tetapi banyak tanah tropika dengan kandungan oksida (hematit) yang
tiggi berwarna merah, bahkan dengan sejumlah besar bahan organik (Foth, 1994).
Batas lapisan dengan lapisan lainnya dalam suatu profil tanah dapat
terlihat jelas atau baur. Dalam pengamatan di lapangan ketajaman peralihan
lapisan-lapisan ini dibedakan kedalam beberapa tingkatan yaitu nyata (lebar
peralihan kurang dari 2,5 cm), jelas (lebar peralihan 2,5 – 6,5 cm) dan baur
(lebar peralihan lebih dari 12,5 cm).
disamping itu entuk topografi dari batas horison tersebut dapat rata, berombak,
tidak teratur atau terputus (Foth, 1988).
Karatan merupakan hasil pelapukan batuan tanah yang di pengaruhi oleh
adhesi dan kohesi. Karatan berwarna hitam mengandung banyak mangan (Mg)
sedangkan berwarna merah mengandung besi (Fe). Karatan merupakan hasil reaksi
oksidasi dan reduksi dalam tanah. Karatan menunjukkan hasil reaksi oksidasi dan
reduksi dalam tanah. Karatan menunjukkan bahwa udara masih dapat kedalam tanah
setempat sehingga terjadi oksidasi ditempat tersebut dan terbentuk
senyawa-senywa Fe3+ yang berwarna merah. Bila air tida pernah menggenang tata
udara dalam tanah selalu baik, maka seluruh profil tanah dalam keaadaan
oksidasi (Fe3+) oleh karena itu umumnya berwarna merah atau coklat. (Foth,
1988). Berdasarkan hasil pengamatan dan literatur yang didapatkan tanah
mempunyai beberapa lapisan dan warnanya bermacam-macam (Foth, 1994).
Tanah terdiri dari lapisan berbeda horisontal, pada lapisan yang
disebut horizons. Mulai dari kaya, organik lapisan atas (humus dan tanah) ke
lapisan yang rocky (lapisan tanah sebelah bawah, dan regolith bedrock) .
1. Horizon O – Bagian
atas, lapisan tanah organik, yang terdiri dari humus daun dan alas.
2. Horizon A – juga
disebut lapisan tanah, yang ditemui di bawah cakrawala O dan E di atas cakrawala.
Bibit akar tanaman tumbuh dan berkembang dalam lapisan warna gelap. Itu terdiri
dari humus dicampur dengan partikel
mineral.
3. Horizon E – adalah
lapisan warna terang dalam hal ini adalah lapisan bawah dan di atas A Horizon B
Horizon. Hal ini terdiri dari pasir dan lumpur, setelah kehilangan sebagian
besar dari tanah liat dan mineral sebagai bertitisan melalui air tanah.
4. Horizon B – juga disebut
lapisan tanah sebelah bawah ini adalah
lapisan bawah dan di atas E Horizon C Horizon. Mengandung tanah liat dan
mineral deposit (seperti besi, aluminium oxides, dan calcium carbonate) yang
diterima dari lapisan di atasnya ketika mineralized bertitisan air dari
tanah di atas.
5. Horizon C – juga
disebut regolith : di lapisan bawah dan di atas Horizon B R Horizon. Terdiri
dari sedikit rusak bedrock-up. Akar tanaman tidak menembus ke dalam
lapisan ini, sangat sedikit bahan organik yang ditemukan di lapisan ini.
6. Horizon R – The
unweathered batuan (bedrock) yang lapisan bawah semua lapisan
lainnya (Islami, 1995).
Gambar 8. Profil Tanah Di Bawah Kanopi
Batasan lapisan pertama
dan kedua berbaur karena perbedaan warna antara lapisan pertama dan kedua
hampir tidak dapat dibedakan dan biasanya disebabkan karena pencucian bahan
organik lapisan pertama terbawa kelapisan kedua Hal ini sesuai dengan pendapat
Foth (1988), bahwa adanya perbedaan lapisan pada tanah disebabkan proses
pelapukan sisa-sisa mikroorganisme atau proses humufikasi.
Warna (munsell) lapisan pertama berwarna cokelat
begitupun dengan lapisan kedua namun pada lapisan kedua warna lapisan cokelat
kekuningan Hal ini disebabkan pada lapisan I, mengandung bahan organik yang
lebih tinggi yang merupakan salah satu bahan yang mengendalikan warna pokok
tanah. Selain itu juga banyak terdapat tumbuhan sehingga jika mati akan
terurai. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwowidodo (1992), bahwa tanaman yang
mengalami penguraian akan memiliki warna tanah cenderung gelap. namun perbedaan
warnanya hampir tidak bisa dibedakan.
Tekstur pada lapisan pertama liat karena pada saat dipegang tanah ini
lengket dan halus Hal ini disebabkan karena kandungan air pada tanah alfisol
yang maksimum. Pada saat pengolahan akan sangat mudah tetapi bila sangat basah
maka alat yang digunakan mudah lengket, sedangkan pada saat kering tanah
tersebut akan sangat keras sehingga sukar untuk diolah. Tanah ini memiliki
horizon B yang kaya akan liat. Hal ini sesuai dengan pendapat Foth (1994),
bahwa tanah yang berada pada horizon B cenderung mengandung tekstur tanah yang
liat. sedangkan pada lapisan kedua liat berpasir, karena pada saat dipegang
tanah ini lengket dan terdapat butiran-butiran pasir. Struktur pada lapisan
pertama dan kedua granular.
Kesimpulan dari penelitian mengenai tanah dan
dekomposisi ini adalah semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah
tersebut, begitu juga sebaliknya. Profil melintang tanah menunjukkan keadaan
tanah yang berbeda-beda dan mempunyai
lapisan-lapisan. Fauna yang ada dibawah kanopi lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan fauna bukan di bawah kanopi, di bawah kanopi didominasi rayap dan kutu,
bukan dibawah kanopi didominasi kutu. Proses dekomposisi dibantu oleh fauna
tanah dan mikroorganisme tanah yang mengurai serasah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, pH, kelembaban, tipe serasah dan faktor
lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan praktikum ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mardiansyah, M.Si dan Dina
Anggraini, S.Si selaku dosen yang telah membimbing saya dalam praktikum ini,
Ady Septianto Hermawan selaku assisten dan kepada Azkiya, Rima, Annisa, Gita,
Arman dan Udi yang telah membantu praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asri I.P., Rachman S., dan
Kabirun, S. 1999. “Pengaruh penambahan
biomassa algae terhadap penurunan Corganik pada dekomposisi limbah tanaman
nanas”. Agrosains 12 (3). 269-279.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A.,
dan Johnson, N.F. 1992. Pengenalan
Pelajaran Serangga. Malang: Pps. Universitas Brawijaya.
Brussaard, L. 1998. “Soil fauna,
guilds, functional groups, and ecosystem processes”. Appl. Soil Ecol. 9:
123-136.
Chapin, F. Stuart et al. Principles
of Terrestrial Ecosystem Ecology. 2002. New York: Springer-Verlag.
Dezzeo, N., Herrera, R.,
Escalante, G., and Briceno, E. 1998. Mass
and nutrient loss of fresh plant biomass in a small black-water tributary of
Caura river, Venezuelan Guayana. Biogeochemistry,
43: 197-210.
Doeswono,1983. Ilmu-Ilmu Terjemahan. Bhatara Karya
Aksara. Jakarta.
Edwards,
C. A., 1998. Earthworm Ecology. Soil and
Water Conservation Society. St. Luice Press. Ankeny, Iowa.
Foth, 1998. Dasar-Dasar
Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Foth, D.H. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah (diterjemahkan
oleh Soenartono Adisoemarto). Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hakim, N., Nyakpa Y.M., Lubis
M.A., Nogroho G.S., Saul R.M., Diha A.M., Hong B.G., dan Bailey H.H., 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu
tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Hättenschwiler, S., A.V. Tiunov
& S. Schen. 2005. Biodiversity and litter decomposition in terrestrial
ecosystem . Annual Reviews Ecology Evolusi System 36: 191-218.
Islami, T. 1995. Klasifikasi Tanah. Aka Press. Jakarta.
Kartasapoetra. A. G., 1991. Pengantar Ilmu Tanah. PT Bhineka Cipta. Jakarta.
Madjid, Abdul. 2007. Bahan Organik Tanah. Universitas
Sriwijaya. Palembang.
Martius, C., H. Hofer, M.V.B.
Garcia, J. Rombke & W. Hanagarth. 2003. Litter fall, litter stocks and
decomposition rates in rainforest and agroforestry sites in Central Amazonia. Nutrient
Cycling in Agroecosystem 68: 137-154.
P.
Lavelle, L. Brussaard and P. Hendrix, 1999. Earthworm
Management in Tropical Agroecosystems. CABI Publishing. UK.
Partaya. 2002. “Komunitas fauna tanah dan analisis bahan
organik di TPA kota Semarang”. Seminar Nasional: Pengembangan Biologi
Menjawab Tantangan Kemajuan IPTEK, tanggal 29 April 2002. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Pleguezuelo, C.R.R., V.H.D. Zuazo,
J.L.M. Fernandes, F.J.M. Peinado & D.F. Tarifa. 2009. Litter decomposition
and nitrogen release in a sloping mediterranean subtropical agroecosystem on
the coast of Granada (SE, Spain): Effect of floristic and topographic
alteration on the slope. Agriculture, Ecosystem and Environment 134:
79-88.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Surabaya: Penerbit
Usaha Nasional.
populasi cacing tanah pada sistem wanatani”. Tesis.
Prescott, C.E. 2005. Decomposition and mineralization of
nutrients from litter and humus dalam
H. BassiriRad (Ed.), Nutrient Acquisition by Plants an Ecological Perspective.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Vol 181.
Sugiyarto. 2000. “Keanekaragaman makrofauna tanah pada
berbagai umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kab. Kediri”. Biodiversitas 1
(2): 47-53.
Suhardjono, Y.R. 1998. “Serangga seresah: Keanekaragaman takson dan
perannya di Kebun Raya Bogor”. Jour. Biota 3 (1): 16-24.
Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Penarbit
Bumi aksara.
Sulistiyanto, Y., J.O. Rieley
& S.H. Limin. 2005. Laju dekomposisi
dan pelepasan hara dari serasah pada dua sub-tipe hutan rawa gambut di
kalimantan tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropica 11(2):
1-14.
Sutedjo, M.M., dan Kartasapoetra,
G.A. 1992. Pengantar Ilmu Tanah.
Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Wang, S., H. Ruan & Y. Han.
2010. Effect of microclimate, litter
type, and mesh size on leaf litter decomposition along an elevation gradient in
the Wuyi Mountains, China. China. Ecological Research 25: 1113-1120.
Yang, Y.S., J.F. Guo, G.S. Chen,
J.S. Xie, L.P. Cai & P. Lin. 2004.
Litter fall, nutrient return, and leaf-litter decomposition in four plantation
compared with a natural forest in subtropical China. Annual Forest Science. 61: 465-476.
LAMPIRAN
Tabel 1. Faktor Fisik Pengamatan
Waktu
|
Faktor
Fisik Lingkungan
|
||||
Suhu
udara
|
Suhu
Tanah
|
Lux
meter
|
pH
|
Kelembaban
|
|
0
|
31
|
28
|
4,7
|
8,9
|
90
|
1
|
31
|
29
|
17,2
|
4,5
|
90
|
2
|
27
|
27
|
1,39
|
3,5
|
90
|
3
|
28
|
27
|
3,5
|
7
|
70
|
Tabel 2. Kelimpahan Fauna di bawah
Kanopi
Tabel 3. Kelimpahan Fauna Bukan di
Bawah Kanopi
Tabel 4. Persentase Kerusakan dan
Berat Serasah di Bawah Kanopi
Tabel 5. Persentase Kerusakan
Serasah Bukan di Bawah Kanopi
Serasah
|
Minggu
0
|
Minggu
1
|
Minggu
2
|
Minggu
3
|
Daun
|
10
|
10
|
30
|
65
|
Rumput
|
15
|
15
|
40
|
70
|
Tabel 6. Berat Serasah Bukan di Bawah Kanopi
Serasah
|
Minggu
0
|
Minggu
1
|
Minggu
2
|
Minggu
3
|
Daun
|
5,0735
|
5,0349
|
5,4665
|
3,014
|
Rumput
|
10,0135
|
5,2293
|
2,1624
|
1,8346
|
Tabel 7. Berat dan Ukuran Tanah
Gambar 1. Penggunaan Soil Tester
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 2. Cacing tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 3. Pembuatan Profil Tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 4. Peletakkan Kantung Serasah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 5. Pengukuran Suhu Tanah
dengan Termometer Tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Langganan:
Postingan
(Atom)