Pages

Sabtu, 06 April 2013

Bukan Autobiografi

baru inget kalo gue pernah nulis ini. Tulisan ini sebenernya tulisan gue waktu SMA dan untuk tugas TIK. Gak nyambung memang sama mata pelajarannya tapi entah kenapa Guru gue Pak Dendi nyuruh buat itu. oke this it, happy reading

ALDHA RIZKI UTAMI, nama itulah yang diberikan kedua orang tuaku. Sebenarnya nama itu adalah singkatan, A adalah anak, L itu lahir, D berarti dari, H dan A adalah inisial dari nama orang tua. Tapi karena nama itu mirip dengan nama penyanyi Alda Risma, banyak orang yang memanggilku dengan sebutan “Alda Risma” Padahal namaku itu ALDHA bukan ALDA. Walaupun nama hanya sebuah kata, tapi menurutku itu adalah hal terpenting dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Ya lupakan soal nama, kini beralih ke keluarga. Aku terlahir sebagai anak pertama di keluargaku, aku lahir pada hari Sabtu, tanggal 12 Juni 1993. Aku merasa beruntung mendapat keluarga yang sangat menyayangiku. Aku mempunyai dua saudara laki-laki. Adik pertamaku bernama Fransetya Alfi Syahrin atau biasa dipanggil “Alfi” dan adikku yang kedua namanya Alfasya Nuhri Ahlan. Nama kami bertiga berawalan “AL”, tak tahu kenapa ayahku menyamakan nama kami dengan berawalan “AL”. Mungkin tujuannya untuk kekompakan atau supaya anak-anaknya bisa rukun.

Aku hidup tak kekurangan maupun berlebihan, keluargaku selalu menerapkan bahwa semua hal harus adil, seimbang dan seperlunya. Awal kehidupanku bisa dibilang berjalan mulus seperti jalan tol, tidak ada masalah yang berarti. Tapi setelah kelahiran adikku yang kedua semua berubah. Adikku adalah anak yang memiliki “kebutuhan khusus” atau sekarang popular dengan nama AUTIS. Dulu aku tak mengerti apa itu AUTIS ? Tapi lama kelamaan aku mengerti. Autislah yang membuat adikku berbeda dari anak-anak lain. Ia tak mau bersosialisasi, tak mau menatap mata orang yang diajak bicara, bersikap acuh dan lambat bicara. Orang tuaku merasa ini tak adil, kenapa harus keluargaku yang menerima cobaan ini, kenapa bukan orang lain. Tak ada gunanya juga menyesal, semua telah terjadi. Orang tuaku  membawa adikku ke dokter dan berkonsultasi, dokter menyuruh agar adikku harus menjalani terapi. Mulai saat itu adikku pun menjalani terapi, kadang-kadang aku menemaninya menjalani terapi. Meskipun hanya bisa melihat dari balik jendela kaca ruang terapi, aku tak tega melihatnya. Alfasya menangis… tangis yang membuat hatiku ingin menariknya keluar dari sana. Tapi apa boleh buat, hanya itulah yang akan membuatnya lebih baik. Sedikit lebih baik.
           
 Beberapa tetanggaku menganggap adikku tidak normal, aneh, idiot atau semacamnya. Rasanya aku ingin sekali mereka merasakan apa yang selama ini keluargaku rasakan. Aku merasa keluargaku itu istimewa, Tuhan sudah mengirimkanku seorang “malaikat yang tersesat” dan keluargaku diangap pantas untuk menerimanya. Biarlah orang mau berkata apa aku akan selalu menjaga “malaikat yang tersesat” ini.
            
Malam itu adalah malam yang paling membuatku takut setengah mati. Adikku terbangun dari tidurnya lalu nafasnya sesak. Badannya pun lemas, aku bertanya dalam hati “ya Tuhan apa ini waktunya ? Malaikat yang tersesat ini harus kembali ke Surga-Mu ?” Ibu dan ayahku panik, mereka berkata  bahwa kalau ini yang terbaik mereka akan mengikhlaskannya. Tidak !! Bukan ini yang kuharapkan, bukan !! Adikku dibawa ke rumah sakit dan masuk ruang gawat darurat. Selang oksigen mulai dipasang, adikku mulai membaik. Tapi semalaman ia tak sadarkan diri. Menurut dokter adikku mengalami epilepsy. Karena ada busa yang keluar dari mulutnya. Tapi menurutku adikku mengalami serangan jantung mendadak. Ya entahlah, yang penting adikku selamat. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit, adikku pulang dan kembali seperti biasa.
            
Setelah beberapa tahun adikku mulai mengalami perubahan, ia sudah mau menatap mata orang, sudah bisa mengendarai sepeda meskipun masih memakai roda bantuan. Tapi belum bisa berkomunikasi lancar, kata-katanya terbatas. Aku sebagai anak sulung dari keluarga ini tak mampu berbuat apa-apa. Hanya bisa membuat adikku tertawa atau menangis. Aku ingin sekali membantu, tapi apa daya aku merasa tak berguna.
            
Sekarang aku duduk di kelas XII, disinilah awal dari sebuah impian. Mungkin bukan impian tapi kewajibanku sebagai seorang kakak. Aku ingin menyembuhkan adikku, aku ingin membuatnya seperti anak-anak lainnya. Bagaimanapun caranya aku harus melakukannya. Kalaupun tak bisa, aku ingin anak autis yang ada di belahan bumi lain dianggap sebagaimana mestinya. Aku yakin anak autis itu adalah“malaikat yang tersesat” dan kita wajib membimbingnya menuju jalan kembali ke surga. 

malaikat yang tersesat

my lovely brother

Setelah tugas ini dikirim via email, Pak Dendi tanya ke gue kondisi adik gue sekarang dan dia nyemangatin gue untuk kuat. Sekarang Alfasya rutin diterapi wicara dan udah mulai bisa bicara meskipun sedikit, tapi itu aja udah buat gue seneng. Ia juga udah bisa naik sepeda tanpa roda bantuan, makan minum sendiri. Usianya hampir 10 tahun tapi keimutannya gak berubah dari dulu. Gue yakin suatu hari nanti, entah kapan pun itu akan ada keajaiban. ya keajaiban yang bisa buat semuanya jadi lebih baik tentunya. Amiiiiiiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar