TANAH
DAN DEKOMPOSISI
Aldha Rizki Utami1), Gita
Najla Aldila1), Arman Gaffar1), Rima Suciyani1),
Azkiya Banata1), Annisa Maulida1), Udi Rafiudin1)
Mardiansyah, M.Si2), Dina Anggraini,
S.Si2)
Ady Septianto Hermawan3)
1)Mahasiswa Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2)Dosen Praktikum Ekologi Terestrial
3)Assisten Praktikum Ekologi Terestrial
E-mail: aldharizki@gmail.com
15 Mei 2013
ABSTRACT
Land was home to a variety of small
animals. These animals do crop residue decomposition into nutrients that and
dig holes and tunnels that lead to the formation of water channels and air
circulation in the soil. Decomposition was a very complex process that involves
several factors. Leaf litter and wood that reaches the ground will rot and will
gradually be incorporated into the mineral soil horizon through the activity of
soil organisms. Gradual process of decomposition was in abundance, with the
most rapid rate of decomposition occurs in the first week. This was because the
new litter is still a lot of inventory elements that are food for the microbes
to the soil or decomposing organisms, so the litter quickly destroyed.
Observations that have been carried out aimed to determine the structure and
size of the cross-section in the ground, knowing fauna in the cross-section of
land, knowing the processes of decomposition and determine the factors that
affect decomposition. This observation has been done to produce data that can
be seen on the results and attachments. Observations weight and size of the
land to get the result that the larger the size of the land, then the land will
be more severe, and vice versa. Transverse profile of the soil showed that the
soil conditions and have different layers. Abundance of fauna that exist under
the canopy more numerous than the fauna was not under a canopy, under canopy
dominated by termites and fleas, not ticks under a canopy dominated.
Decomposition process aided by soil fauna and soil microorganisms that
decompose litter and the factors that affect decomposition are temperature, pH,
humidity, type of litter and environmental factors.
Keywords: soil, decomposition, decomposers,
litter, weight and size of the land, the rate of decomposition
ABSTRAK
Tanah merupakan tempat tinggal untuk bermacam-macam binatang kecil.
Binatang ini melakukan proses pembusukan sisa tanaman sehingga menjadi unsur
hara dan menggali lubang serta terowongan yang menyebabkan terbentuknya saluran
peredaran air dan udara di dalam tanah. Dekomposisi merupakan proses yang
sangat komplek yang melibatkan beberapa faktor. Sampah daun dan kayu yang
mencapai tanah akan membusuk dan secara bertahap akan dimasukkan ke dalam
horizon mineral tanah melalui aktivitas organisme tanah. Proses dekomposisi
berjalan secar bertahap, dimana laju dekomposisi paling cepat terjadi pada
minggu pertama. Hal ini dikarenakan pada serasah yang masih baru masih banyak
persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi
organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur. Pengamatan yang sudah
dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan ukuran di penampang
melintang tanah, mengetahui fauna yang ada di penampang melintang tanah,
mengetahui proses-proses terjadi dekomposisi dan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi dekomposisi. Pengamatan yang telah dilakukan ini menghasilkan data
yang dapat dilihat pada hasil dan lampiran. Pengamatan berat dan ukuran tanah
mendapatkan hasil bahwa semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat
tanah tersebut, begitu juga sebaliknya. Profil melintang tanah menunjukkan
keadaan tanah yang berbeda-beda dan
mempunyai lapisan-lapisan. Kelimpahan fauna yang ada dibawah kanopi lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan fauna bukan di bawah kanopi, di bawah kanopi didominasi rayap dan kutu,
bukan dibawah kanopi didominasi kutu. Proses dekomposisi dibantu oleh fauna
tanah dan mikroorganisme tanah yang mengurai serasah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, pH, kelembaban, tipe serasah dan faktor
lingkungan.
Kata kunci : tanah, dekomposisi, dekomposer, serasah, berat dan ukuran
tanah, laju dekomposisi
PENDAHULUAN
Tanah merupakan tempat tinggal untuk
bermacam-macam binatang kecil. Binatang ini melakukan proses pembusukan sisa
tanaman sehingga menjadi unsur hara dan menggali lubang serta terowongan yang
menyebabkan terbentuknya saluran peredaran air dan udara di dalam tanah. Dengan
menggali tanah, binatang-binatang kecil mencampur lapisanl-apisan tanah. Tanah
yang sehat mempunyai berbagai jenis binatang (bio-diversitas tinggi). Dominasi
oleh salah satu jenis binatang merupakan tanda adanya kemungkinan
ketidak-seimbangan pada tanah tersebut. Misalnya, terlalu banyak atau terlalu
sedikit air. Penggunaan pestisida juga bisa merusak keseimbangan biologis tanah
(Doeswono, 1998)
Nutrisi dikembalikan ke tanah dalam bentuk sampah
yang dilarutkan melalui kegiatan pengurai atau yang dikenal dengan istilah
dekomposisi. Dekomposisi serasah adalah perubahan fisik maupun kimiawi yang
sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya)
atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik
yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa organik sederhana
(Sutedjo et al., 1992).
Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek
yang melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et
al., 1998). Sampah daun dan kayu yang mencapai tanah akan membusuk dan
secara bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon mineral tanah melalui
aktivitas organisme tanah. Bahan organik yang ada di permukaan tanah dan
bercampur dengan mineral tanah adalah sumber yang penting bagi fosfor, kalsium,
kalium, magnesium, dan nutrisi lainnya. Pelepasan hara dari pembusukan bahan
organik di dalam tanah merupakan langkah
penting dalam fungsi ekosistem. Jika nutrisi diuraikan terlalu cepat, akan hilang melalui pencucian tanah atau
penguapan. Sebaliknya, jika dekomposisi terlalu lambat, hara yang disediakan
bagi tumbuhan jumlahnya sedikit maka
hasilnya pertumbuhan tanaman akan terhambat (Asri, 19990
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, contohnya pH, iklim (temperatur dan kelembaban), komposisi kimia
dari serasah, dan mikro organisme tanah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
laju dekomposisi di daerah tropis relatif lambat, hal ini dimungkinkan karena dedaunan pohon di tropis
bersifatsclerophyllous. Daun sclerophyllous antara lain daun-daun yang kuat dan memiliki rasio luas dan beratnya
rendah yang relatif tahan terhadap pembusukan.
Setidaknya selama tahap pertama dekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
Proses dekomposisi berjalan secar bertahap, dimana
laju dekomposisi paling cepat terjadi pada minggu pertama. Hal ini dikarenakan
pada serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan
makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat
hancur (Pleguezueolo, 2009).
Pengamatan kali ini bertujuan untuk mengetahui
struktur dan ukuran di penampang melintang tanah, mengetahui fauna yang ada di
penampang melintang tanah, mengetahui proses-proses terjadi dekomposisi dan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi.
MATERI DAN METODE
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu
tanggal 3 April 2013 sampai 24 April
2013 mulai pukul 13.00 – 16.00 WIB di Kampus 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan analisis data dilakukan di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah
sekop/ cangkul, pisau, pinset, cawan, plastik/ botol sampel, oven, alat ukur
atau meteran, pH meter, saringan bertingkat, timbangan, mikroskop, soil tester,
termometer tanah, kertas label, kantong sampah (litter bags) 10 buah yang terbuat dari kain kassa berukuran 20 x 10
cm dan kuas. Bahan yang digunakan meliputi faktor abiotik (tanah, serasah daun
dan rumput, suhu tanah, intensitas cahaya, pH tanah) dan biotik yang akan diukur (hewan).
Prosedur Kerja
Pertama yang dilakukan
adalah ditentukan lokasi untuk menggali tanah sedalam 30 cm. Dibagi dua
kelompok, 3 kelompok menggali tanah dibawah kanopi, 2 elompok menggali tanah
tidak dibawah kanopi Setelah digali, diukur pH tanah kemudian lihat penampang
melintang tanah. Diambil sampel tanah sebanyak 10 gram lalu dioven dengan suhu
60°C selama 1 jam, setelah itu tanah disaring.
Diambil serasah yaitu berupa daun sebanyak masing
- masing 10 gram yang dimasukkan ke dalam kantung. Dilakukan juga hal yang sama
pada serasah rumput. Setelah itu dicatat kondisi serasah (fauna % kerusakan),
kemudian diletakkan pada lantai hutan. Diukur faktor fisiknya yaitu intensitas
cahaya, suhu udara, kelembaban tanah dan pH tanah
Diamati selama 4 minggu
dengan interval waktu 1 minggu, setiap minggu diuukur faktor fisik, kondisi
serasah, fauna) diambil 2 kantung perminggu. Data yang didapatkan dianalisis
dan disajikan dalam bentuk histogram dan tabel.
Analisis Data
Percobaan ini menghasilkan data fauna tanah,
persentase kerusakan daun dan ruput dan berat daun dan rumput. Data yang
didapatkan disajikan dalam bentuk grafik histogram dan tabel.
Histogram dan tabel dapat dilihat pada hasil dan lampiran.
HASIL
Pengamatan tanah dan
dekomposisi ini mendapatkan hasil yang disajikan dalam bentuk grafik histogram dan
tabel sebagai berikut.
Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di
Bawah Kanopi
Berdasarkan Gambar 1. Berat
Daun dan Serasah di Bawah Kanopi, berat daun paling tinggi berada pada minggu
ke 2 dengan berat 6,33 gram, sedangkan berat daun paling rendah berada pada
minggu terakhir dengan berat 0, 77 gram. Berat rumput tertinggi berada pada
minggu ke ke 1 dengan berat 11,27 gram, sedangkan berat rumput terendah pada
minggu ke 3 atau minggu terakhir dengan berat 4,57 gram.
Gambar 2. Berat Daun dan Serasah
tidak di Bawah Kanopi
Berdasarkan Gambar 2. Berat
Daun dan Serasah tidak di Bawah Kanopi, berat daun tertinggi pada minggu ke 2
dengan berat 5, 4665 gram, sedangkan berat daun terendah pada minggu ke 3
dengan berat 3, 014 gram. Berat rumput tertinggi pada minggu ke 0 dengan berat
10, 01335 gram.
Gambar 3. Persentase Kerusakan
Serasah Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan
daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 85 %,
sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase
sebesar 15 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan
persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput
terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Gambar 4. Persentase Kerusakan
Serasah Bukan Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi, presentase
kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar
65 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase
sebesar 10 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan
persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput
terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 5. Kelimpahan Fauna Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada
minggu ke 2 didominasi oleh hewan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 50
dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 33. Kelimpahan fauna terendah pada minggu
ke 0, ditemukan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 2 dan cacing tanah
(Lumbricidae) dengan jumlah individu 1.
Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi
Berdasarkan
Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi
pada minggu ke 2 didominasi oleh kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 21
pada daun dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu 7 pada rumput. Kelimpahan
fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan kumbang tanah (Formicidae) dengan
jumlah individu 1.
Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah
Berdasarkan Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah,
tanah dengan berat tertinggi dengan ukuran 630 µm denga berat 5, 9373 gram,
sedangkan tanah yang paling ringan berukuran 0, 033 µm dengan berat 0, 0835
gram.
PEMBAHASAN
Pengertian Dekomposisi
Praktikum kali ini
mengamati tanah dan dekomposisi. Dekomposisi sendiri adalah proses alami dari
hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Proses ini dilakukan
oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Organisme pengurai menyerap sebagian
hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat
digunakan kembali oleh produsen. Organisme yang tergolong pengurai adalah
bakteri dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan
pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Proses
ini dilakukan oleh invertebrata, jamur dan bakteri. Hasil dekomposisi adalah
bahwa blok bangunan yang diperlukan untuk kehidupan dapat didaur ulang. Dekomposisi merupakan proses yang sangat kompleks yang
melibatkan beberapa faktor (Dezzeo et al.
1998).
Semua organisme hidup di bumi akhirnya akan mati.
Banyak tanaman secara alami melengkapi siklus hidup mereka dan mati dalam waktu
satu tahun. Jika setiap organisme yang mati tidak membusuk dan membusuk,
permukaan bumi akan segera tertutup lapisan mendalam mayat yang akan tetap utuh selamanya. Situasi
yang sama akan timbul jika limbah hewan dan tumbuhan tidak pernah membusuk. Hal
ini tidak terjadi karena organisme mati dan limbah hewan menjadi makanan atau
habitat bagi beberapa organisme lain untuk hidup (Chapin, 2002).
Dekomposisi adalah proses alami dari hewan mati
atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak. Sedangkan Pengurai atau
dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari
organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan
yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil
penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan
kembali oleh produsen (Prescot, 2005).
Jenis-jenis Dekomposisi
Organisme yang tergolong pengurai adalah bakteri
dan jamur. Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang
memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dekomposisi
ada tiga, yaitu:
1. Aerobik : oksigen adalah
penerima elektron oksidan.
2. Anaerobik : oksigen tidak
terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan.
3. Fermentasi : anaerobik namun
bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron.
Komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan
ekosistem yang teratur (Edward, 1998).
Kelimpahan Fauna Tanah (Dekomposer)
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik
di permukaan tanah maupun di dalam tanah.Tanah merupakan suatu bentangan alam
yang tersusun dari bahan- bahan mineral yang merupakan hasil pelapukan sisa-sisa
tumbuhan dan hewan lainnya. Kelompok hewan tanah sangat beranekaragam, menurut
ukurannya ada yang digolongkan menjadi makrofauna tanah, mesofauna tanah, dan
mikrofauna tanah. Ukuran mikrofauna berukuran 20 - 200 mikron. Mesofauna
berukuran 200 mm - 1cm. sedangkan makrofauna berukuran lebih dari 1 cm. Hewan
tanah mempunyai peranan yang cukup besar dalam penentuan kualitas tanah, terutama
dalam proses pengurayan material organik tanah. Selain itu hewan tanah juga
dapat memperbaiki struktur tanah (Partaya, 2002).
Proses dekomposisi material organik merupakan
hasil aktifitashewan tanah dan mikro flora tanah. Keikutsertaan hewan tanah
dalam proses dekomposisi bisa secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung karena organisme tersebut memakan dan menghancurkan material organik,
dan secara tidak langsung berupa keikutsertaannya meningkatkan jumlah
mikroflora tanah yang juga berperan dalam proses dekomposisi material organik
tanah (Borror, 1992).
Selain itu hewan tanah juga berperan dalam
memberikan nilai tukar kation tanah dan menyumbangkan nitrogen bagi tanah. Hewan
tanah yang mati ,tubuhnya akan terurai dan lebih lanjut senyawa yang mengandung
nitrogen akan diserap dan dimanfaatkan kembali oleh tumbuh- tumbuhan. Hewan
tanah sebagai salah satu komponen dalam ekosistem juga memerlukan keberadaan
komponen lain dari ekosistem itu, yaitu komponen biotik seperti vegetasi
tumbuhan dan mikroflora tanah, dari komponen abiotik yaitu tanah dan iklim
(Brussaard, 1998).
Selain fauna tanah/ organisme tanahh, ada juga mikroorganisme
tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai
produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke udara. Ada dua
proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu dekomposisi
bahan organik tanah dari humus, dan dekomposisi dari sisa tanaman yang
ditambahkan (Foth, 1988).
Dekomposer adalah
organisme yang mengubah molekul organik menjadi anorganik. Dekomposer merupakan
organisme heterotrof yaitu organisme yang tidak bisa membuat makanan sendiri
sehingga harus mendapatkan makanan dari organism lain. dengan cara menguraikan
sisa-sisa makanan. decomposer utama dalam ekosistem adalah jamur dan bakteri,
namun ada juga organisme lain yang ikut berperan seperti serangga tanah, semut,
rayap dan cacing tanah. Hal yang menganggu dan mempersempit aktivitas
dekomposer adalah praktek-praktek pemeliharaan antara lain pemupukan,
penggunaan pestisida serta kecilnya kandungan bahan organik (Hakim, 1986).
Dekomposisi
adalah proses penguraian yang
dilakukan oleh dekomposer untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dikomposer
terutama jamur dan bakteri mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk
peroses kamis spesifik, adapun jenis dekomposer tidak ada satupun yang mampu
melaksanakan dekomposisi secara total, namun populasi dekoposer yang beraneka ragam
jenisnya di alam mempunyai kemampuan yang beraneka ragam pula shingga dapat
melaksana proses dekomposisi secara tuntas dimana kecepatan dekomposisi
dipengaruhi olah banyak faktor diantaranya temperator dan kelembapan, dalam
proses dekomposisi sendiri dihasilkan berbagai zat kimia yang mempunyai dampak
positif sebagai peraysang temperature dan mempunyai dampak uegatif positif
sbagai penghambat pertumbuhan, dimana zat yang dihasilkan disebut dengan
hormone lingkungan, dimana hasil dari dekomposisi tidak hanya berbentuk bahan
makanan tetapi juga kimiawi (Hardjowigeno, 1987).
Hewan-hewan dekomposer banyak ditemukan ditempat
lembab, hal ini karena dalam tempat lembab banyak terdapat zat-zat sisa makanan
yang akan di uraikan. Sedangkan di tempat kering tidak/ jarang ditemukan hewan
dekomposer. Karena di tempat kering hanya terdapat sedikit bahan makanan yang
dibutuhkan oleh dekomposer. Hal ini dibuktikan pada Gambar 5 dan 6 pada hasil
pengamatan. Jumlah fauna di bawah kanopi lebih banyak daripada bukan dibawah kanopi.
Hewan yang ditemukan tergolong mesofauna (mikroartrropoda, cacing) dan
makrofauna (cacing tanah, insecta dan artropoda) berdasarkan ukuran tubuhnya
(Kartasapoetra, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan jenis dekomposer yang
di temukan di tempat lembab dan tanah gembur, hal ini di sebabkan karena
beberapa faktor yaitu keadan tanah, suhu dan sisa hewan / tumbuhan yang
terdapat pada tanah itu. Dekomposer adalah makhluk hidup yang bertugas
menguraikan sisa-sisa makhluk hidup lain (bangkai dan sampah) menjadi komponen
penyusun tanah. Berhubungan dengan fungsinya tersebut pengurai sering dianggap
sebagai pembentuk lingkungan baru bagi produsen hasil penguraian berupa
bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan baku makanan bagi tumbuhan seperti
jamur dan bakteri. Jenis dekomposer di bawah kanopi ditemukan Lumbricidae
(cacing tanah), Formicidae (semut), Psyllidae (kutu tanah) dan Rhinotermitidae
(rayap).
Berdasarkan Gambar 5. Kelimpahan
Fauna Di Bawah Kanopi, kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi
oleh hewan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 50 dan kutu (Psyllidae)
dengan jumlah individu 33. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0,
ditemukan semut (Formicidae) dengan jumlah individu 2 dan cacing tanah
(Lumbricidae) dengan jumlah individu 1.
Jenis dekomposer bukan di bawah kanopi ditemukan kutu
(Psyllidae), semut (Formicidae), laba-laba (Salticidae), dan kumbang tanah
(Carabidae). Berdasarkan Gambar 6. Kelimpahan Fauna Bukan Di Bawah Kanopi,
kelimpahan fauna tertinggi pada minggu ke 2 didominasi oleh kutu (Psyllidae)
dengan jumlah individu 21 pada daun dan kutu (Psyllidae) dengan jumlah individu
7 pada rumput. Kelimpahan fauna terendah pada minggu ke 0, ditemukan kumbang
tanah (Formicidae) dengan jumlah individu 1.
Jumlah cacing tanah yang ditemukan sedikit, karena
cacing tanah sangat menyukai tempat yang lembab dan gembur yang banyak
mengandung sisa hewan/ tumbuhan yang mati. Hal ini didukung dengan adanya
pengukuran faktor fisik (lampiran). Itu disebabkan karena di lingkungan lembab tertimbun
banyak mahluk hidup yang telah mati, seperti kayu yang sudah lapuk, oleh karena
itu kehidupan terjadi dari yang abiotik (kayu yang sudah mati) ke biotik (kayu
itu sebagai makanan pengurai/decomposer). Cacing tanah sendiri merupakan dekompuser yang mendapatkan
makanan dari hasil dekomposisi. Cacing tanah selain berfungsi sebagai
pengemburan tanah dan penyubur tanah juga sebagai pengurai. Cacing tanah
mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk proses kimia. Enzim ini dimasukkan ke dalam organisme mati
dan sebagian hasil dekomposisi diserap oleh decomposer sebagai makanannya. Sisa dari decomposer inilah yang menyuburkan
tanah dan penyediaan udara untuk pernapasan jasad renik ( mikroba) melalui
lubang-lubang yang telah dibuat di dalam tanah (Lavelle, 1999).
Di tempat yang kering atau bukan di bawah kanopi tidak di
temukan cacing tanah, karena tempat
kering tidak sesuai dengan habitatnya bahkan tidak ada sisa-sisa organisme mati
sehingga sulit untuk melakukan proses dekomposisi untuk mendapatkan makanan. Daerah
yang tertutupi kanopi banyak ditemukan rayap dan kutu, berlimpahnya jenis ini
kemungkinan diakibatkan faktor fisik, kimia dan biologi yang mendukung
kehiduupan dekomposer tersebut (Sugiyarto, 2000).
Penggunaan pestisida dan pupuk buatan seperti
pupuk Nitrogen, pupuk Fosforus, pupuk Kalium dan lain sebagainya sangat
mengganggu aktivitas decomposer, hal ini disebabkan karena kandungan kimia
masing-masing pupuk akan menyebabkan tanah bersifat asam, tanah asam disebabkan
oleh kelebihan superfosfat yang dapat meningkatkan konsentrasi Hidrogen dalam
tanah. Tentu saja hal ini akan menghambat aktifitas dekomposer bahkan dapat
membunuh dekomposer, karena menyerap tanah yang asam akibat dari bahan kimia
pupuk-pupuk tersebut. Dapat dipastikan di tempat tersebut huga tidak ada bahan
organik yang di serap oleh dekomposer (Poerwowidodo, 1992)
Perbandingan Kecepatan Dekomposisi di Bawah Kanopi dan Bukan di Bawah Kanopi Dilihat Dari
Berat Serasah dan Persentase Kerusakan
Kecepatan dekomposisi dapat diketahui dari
banyaknya bobot sampah organik yang terdekomposisi setiap interval
waktunya. Kecepatan dekomposisi dapat
dilihat dari bobot sampah organik yang terdekomposisi dan persentase
kerusakan serasah/ sampah organik (Wang, 2010).
Serasah merupakan material organik yang mampu
diuraikan oleh mikroorganisme dan organisme kecil lain. Material organik
diuraikan oleh mikroorganisme karena berperan sebagai sumber energi dan makanan
bagi mikroorganisme tersebut. Hasil penguraian oleh mikroorganisme akan berguna
sebagai penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping
sebagai sebagai sumber energi bagi mikroorganisme juga sebagai sumber hara bagi
tanaman (Yang,
2004).
Berdasarkan
Gambar 1. Berat Daun dan Serasah di Bawah Kanopi, berat daun paling tinggi
berada pada minggu ke 2 dengan berat 6,33 gram, sedangkan berat daun paling
rendah berada pada minggu terakhir dengan berat 0, 77 gram. Berat rumput
tertinggi berada pada minggu ke ke 1 dengan berat 11,27 gram, sedangkan berat rumput
terendah pada minggu ke 3 atau minggu terakhir dengan berat 4,57 gram.
Berdasarkan Gambar 2. Berat Daun dan Serasah tidak
di Bawah Kanopi, berat daun tertinggi pada minggu ke 2 dengan berat 5, 4665
gram, sedangkan berat daun terendah pada minggu ke 3 dengan berat 3, 014 gram.
Berat rumput tertinggi pada minggu ke 0 dengan berat 10, 01335 gram.
Berdasarkan Gambar
3. Persentase Kerusakan Serasah Di Bawah Kanopi, presentase kerusakan daun
tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar 85 %, sedangkan
persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar
15 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase
kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput terendah pada
minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Berdasarkan
Gambar 4. Persentase Kerusakan Serasah Bukan Di Bawah Kanopi, presentase
kerusakan daun tertinggi pada minggu ke 3 dengan persentase kerusakan sebesar
65 %, sedangkan persentase kerusakan daun terendah pada minggu ke 0 dengan
persentase sebesar 10 %. Presentase kerusakan rumput tertinggi pada minggu ke 3
dengan persentase kerusakan sebesar 70 %, sedangkan persentase kerusakan rumput
terendah pada minggu ke 0 dengan persentase sebesar 15 %.
Dapat dibandingkan bahwa semakin lama serasah daun
dan rumput diletakkan diatas tanah maka semakin sedikit beratnya dan semakin
besar persentase kerusakannya. Hal ini terjadi karena bantuan dekomposer yang
membantu mengurai sampah organik/ serasah daun dan rumput. Penguraian serasah
daun dan rumput lebih cepat terjadi pada daerah yang ditutupi kanopi,
ditunjukkan denga berat serasah yang berkurang signifikan pada pengamatan
minggu terakhir. Hal yang sama ditunjukkan juga pada persentase kerusakan
serasah, daerah yang ditutupi kanopi persentase kerusakan serasahnya lebih
besar dibandingkan dengan persentase kerusakan serasah di daerah yang tidak
ditutupi kanopi.
Hampir sama seperti kelimpahan fauna/ dekomposer,
daerah yang ternaungi kanopi lebih lembab, banyak tersedia sumber kehidupan
bagi dekomposer dan faktor fisik yang sangat mendukung kehidupan dekomposer.
Jumlah dekomposer yang banyak mengakibatkan serasah cepat terdekompososisi.
Begitu juga sebaliknya pada daerah yang tidak tertutupi kanopi, suhu yang
panas, tidak lembab menyebabkan dekomposer sedikit dan serasah terdekomposisi
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan daerah yang tertutupi kanopi.
Setiap organisme memliki kisaran suhu optimum
untuk kelangsungan hidupnya Kelembaban udara berpengaruh terhadap dekomposisi serasah
karena memberikan kondisi optimum untuk penguraian material organik menjadi
material organik yang lebih sederhana maupun menjadi material anorganik. Jumlah
mikroorganisme dan organisme berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah
karena semakin banyak mikroorganisme dan organisme kecil lainnya, semakin cepat
pula proses dekomposisi. Keragaman organisme berkaitan dengan interaksi antara
orgnisme. Interaksi yang mungkin terjadi antara lain sinergisme dan
antagonisme. Semakin kompleks kandungan kimia suatu serasah, semakin lama
proses dekomposisinya (Sugiyarto, 2000).
Serasah diuraikan oleh kompleks mikroorganisme,
baik bakteri, jamur, lipan maupun kumbang tanah. Serasah diuraikan oleh
mikroorganisme menjadi material anorganik untuk dimanfaatkan kembali oleh
tumbuhan. Dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara,
jumlah dan keragaman mikroorganisme serta kandungan kimia serasah (Suhardjono,
1998).
Sulistiyanto (2005) mengatakan bahwa laju
dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.
Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna
mikro dan kandungan kimia dari serasah. Kecepatan dekomposisi seresah daun dan
rumput dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Tipe serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah
seperti kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe serasah
mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa
kompleks yang terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk
didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa
berikutnya yang relatif cepat didekomposisi (Sulistiyanto, 2005).
2. Temperatur
Kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada
suhu 24 ºC. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi
mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar
10°C akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat. Akan
tetapi penambahan suhu maksimal dapat mematikan organisme pendegradasi serasah.
Berdasarkan Tabel 1. Faktor Fisik (lampiran), daerah yang tertutupi kanopi
mempunyai suhu udara berkisar 27 - 31°C dan suhu tanah 27 - 28°C (Sulistiyanto,
2005).
3. Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH,
dimana aktivitas selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH optimum
untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya
hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim
ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang
disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada
aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada
enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH. Berdasarkan Tabel 1. Faktor
Fisik (lampiran), daerah yang tertutupi kanopi mempunyai pH berkisar 4 – 8,9
(Sulistiyanto, 2005)
Faktor-faktor Pengendali Dekomposisi
Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe
faktor, yaitu kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat
yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba
(Asri, 1999).
Kondisi Lingkungan Fisik :
Temperatur
Temperatur mempengaruhi proses dekomposisi secara
langsung dengan meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan
mengubah kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke
dalam tanah. Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam
proses respirasi mikroba pada rentang temperatur yang luas –mempercepat
mineralisasi karbon organik menjadi CO2. Keadaan temperatur yang
tinggi secara terus menerus menyebabkan proses dekomposisi berlangsung dengan
lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak efek tidak langsung terhadap proses
dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi kelembaban tanah dengan meningkatkan
proses evaporasi dan transpirasi. Stimulasi aktivitas mikroba oleh temperatur
yang hangat juga menginisiasikan serangkaian perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi proses
dekomposisi. Di sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi pada
temperatur tinggi meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan
oleh tanaman –mengubah substrat yang tersedia untuk dekomposisi. Temperatur
yang tinggi juga meningkatkan tingkat pelapukan kimia, yang dalam jangka pendek
menyebabkan peningkatan pasokan nutrisi. Sebagian besar efek tidak langsung
dari temperatur menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi tanah pada suhu
yang hangat dan memberikan kontribusi pada proses dekomposisi yang lebih cepat
(diamati pada kondisi iklim hangat) (Asri, 1999)..
Kelembaban
Dekomposer mengalami kondisi paling produktif
dalam kondisi lembab yang hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia) kondisi
yang menyebabkan tingkat dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat
dekomposisi umumnya mengalami penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari
30 sampai 50% dari massa kering –dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan
lembab pada permukaan tanah yang menyebabkan penurunan kecepatan difusi
substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi juga mengalami penurunan pada kadar
kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih besar dari 100 hingga 150% dari
massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu yang membusuk, terdapat lingkungan
mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menyebabkan
tingkat laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh
jumlah pasokan oksigen). Tingkat dekomposisi batangan kayu umumnya mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya diameter batang tersebut –karena ukuran
batangan besar umumnya memiliki lebih banyak uap air dan lebih sedikit oksigen
(Asri, 1999).
Properti
Tanah
Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada
kondisi netral daripada kondisi asam. Peningkatan secara menyeluruh di tingkat
dekomposisi pada pH yang lebih tinggi mungkin mencerminkan adanya kompleksitas
interaksi antar faktor, termasuk perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan
terkait dengan perubahan dalam kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari
penyebab perubahan keasaman dan komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah
cenderung dikaitkan dengan tingkat dekomposisi yang rendah(Asri, 1999).
Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat
dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan
organik tanah. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan
kapasitas pegang air (water-holding capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya
pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah
lempung basah. Bahkan pada kelembaban tanah yang sedang, mineral lempung dapat
meningkatkan akumulasi bahan organik dengan: mengikat bahan organik tanah;
mengikat enzim mikroba; dan mengikat produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat
dikatakan, efek akhir dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini
adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi
(Asri, 1999).
Gangguan
pada Tanah
Gangguan pada tanah berpengaruh pada peningkatan
dekomposisi dengan mempromosikan proses aerasi serta mengekspos permukaan baru
untuk proses penyerangan oleh mikroba. Mekanisme dimana proses gangguan ini
merangsang terjadinya dekomposisi pada dasarnya sama pada semua skala; mulai
dari pergerakan cacing di dalam tanah sampai proses pengolahan tanah pada
bidang pertanian. Peristiwa proses ini pada hakikatnya mengganggu agregat tanah
sehingga bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terbuka
terhadap oksigen dan kolonisasi oleh mikroba. Dampak gangguan pada tanah ini
yang paling menonjol terlihat pada keadaan tanah basah yang hangat –dimana
proses aerasi yang telah meningkat ini besar pengaruhnya terhadap proses
dekomposisi (Asri, 1999).
Kualitas dan Kuantitas Substrat
Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tingkat dekomposisi
pada dasarnya merupakan konsekuensi yang logis dari jenis senyawa kimia yang
hadir dalam serasah atau sampah tersebut. Senyawa-senyawa ini dapat
dikategorikan diantaranya sebagai senyawa metabolik labil (seperti gula dan
asam amino), senyawa struktural agak labil (seperti selulosa dan hemiselulosa),
dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan cutin). Sampah yang cepat
membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas konsentrasi yang lebih
tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih rendah pada senyawa
solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam
menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan
struktur, toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai
prediktor tingkat laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling
berkorelasi. Rasio perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C :
N) misalnya, sering digunakan sebagai indeks dari kualitas sampah; karena
sampah dengan rasio “C : N” yang rendah (konsentrasi nitrogen tinggi) umumnya
mengalami dekomposisi yang cepat. Namun, bukanlah konsentrasi nitrogen dari
sampah maupun ketersediaan nitrogen dalam tanah yang secara langsung
mempengaruhi tingkat dekomposisi pada ekosistem alami; hal ini menunjukkan
bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti kimiawi yang langsung mengontrol
proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk kondisi sampah solid, rasio
konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan sebagai prediktor
tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting kualitas karbon
dalam menentukan tingkat dekomposisi (Asri, 1999).
Materi
Organik Tanah
Materi organik tanah dihasilkan dari sampah
melalui proses fragmentasi oleh invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh
mikroba. Setelah mikroba ini mati, komponen chitin serta komponen solid lain
pada dinding sel mikroba tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi
massa dari sampah (massa sampah sebelum yang ditambah massa mikroba) dan
reaksi-reaksi non-enzimatik yang menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini
berakibat terjadinya pengurangan kualitas bahan organik tanah secara bertahap
(penuaan) -rasio “C : N” juga mengalami penurunan seiring proses dekomposisi
berjalan. Dapat disimpulkan, pada proses dekomposisi terhadap materi organik
tanah (seperti halnya pada sampah), kualitas karbon dapat dikatakan merupakan
alat prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik (Asri, 1999).
Sudah menjadi sifat heterogen dari materi organik
tanah yang membuatnya sulit dalam pengidentifikasian kontrol kimiawi atas
proses dekomposisi materi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya percampuran
senyawa organik dari usia yang berbeda dengan komposisi kimiawi.
Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah ini dapat dipisahkan
melalui sentrifugasi kerapatan, karena partikel baru bersifat kurang padat
apabila dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada partikel
mineral tanah. Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah yang
besar dalam pecahan ringan umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi.
Sebagai alternatif lain, tanah dapat dipisahkan secara kimiawi menjadi
pecahan-pecahan yang berbeda, seperti senyawa air terlarut, asam humic, dan
asam fulvat –yang berbeda dalam usia rata-rata dan kemudahan dalam penguraian.
Materi organik tanah secara rata-rata umumnya memiliki waktu tinggal (residence
time) antara 20 sampai 50 tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran
antara 1 sampai 2 tahun pada lahan budidaya hingga ribuan tahun pada lingkungan dengan tingkat dekomposisi yang
lambat (Asri, 1999).
Komposisi Komunitas Mikroba dan
Kapasitas Enzimatis
Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada
komposisi komunitas mikroba dan sifat dari matriks tanah. Komposisi dari
komunitas mikroba berperan sangat penting karena komposisi tersebut sangat
berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi enzim. Enzim pemecah substrat
umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh begitu banyak jenis mikroba
(dimana jenis enzim-enzim ini memang secara universal sering djumpai di dalam
tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam proses-proses yang hanya terjadi
dalam lingkungan tertentu, seperti proses denitrifikasi (atau produksi metana)
dan oksidasi, tampak lebih sensitif terhadap komposisi komunitas mikroba ini.
Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di
dalam tanah, baik oleh degradasi oleh protease tanah atau dengan cara mengikat
mineral tanah. Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau
mikroba mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan
pengikatan terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau
memblokir lahan aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya
(Asri, 1999).
Profil
Tanah
Tanah adalah lapisan nisbi tipis pada permukaan kulit. Tanah bervariasi
dari satu tempat ke tempat yang lain, karena keaneka ragaman ini, maka tanah
dapat dipandang sebagai kumpulan individu-individu tanah. Pembentukan tanah
dari bongkahan bumi mulai dari proses-proses pemecahan atau penghancuran dimana
bahan induk berkeping-keping secara halus. Tiap tanah berkembang secara baik
dan masih dalam keadaan asli akan
mempunyai sifat profil yang khas. Sifat-sifat ini yang dipakai dalam
klasifikasi dan penjarangan tanah yang sangat besar manfatnya dalam menentukan
pendapat tentang tanah dan sifat-sifat profil (Foth, 1994).
Pengenalan tanah di lapangan dilakukan dengan mengamati menjelaskan
sifat-sifat profil tanah. Profil tanah adalah urutan-urutan horison tanah, yakni
lapisan-lapisan tanah yang dianggap sejajar permukaan bumi. Profil tanah
dipelajari menggali tanah dengan dinding lubang vertikal kelapisan yang lebih
bawah (Foth, 1994).
Profil tanah merupakan suatu
irisan melintang pada tubuh tanah, dibuat dengan cara membuat lubang dengan
ukuran panjang dan lebar serta kedalaman tertentu sesuai dengan keadaan tanah
dan keperluan penelitian. Tanah merupakan tubuh alam yang terbentuk dan
berkembang akibat terkena gaya-gaya alam (natural forces) terhadap
proses pembentukan mineral. Pembentukan dan pelapukan bahan-bahan organik
pertukaran ion-ion, pergerakan dan pencucian bahan-bahan koloid (Foth, 1994).
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya dari fraksi tanah halus. Berdasar atas
perbandingan anyaknya butir-butir pasir, debu, liat maka tanah dikelompokkan
kedalam beberapa kelas tekstur. Dalam klasifikasi tanah tingkat famili kasar
halusnya tanah ditunjukkan dalam kelas sebaran besar butir yan mencakup seluruh
tanah. Kelas besar butir merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah
tetapi dengan memperhatikan pula banyaknya fragmen batuan atau fragsi tanah
yang lebih besar dari pasir. Tanah-tanah bertekstur liat ukuran butienya lebuh
halus maka setiap satuan berat mempunyai luas luas permukaan yang lebih besar
sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah yang
bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar
(Hardjowigeno, 1987). Berdasarkan Gambar 7. Berat dan Ukuran Tanah, semakin
besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah tersebut. Semakin kecil ukuran
tanah tersebut maka akan semakin ringan tanah tersebut.
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah.
Gumpalan struktur ini terjadi karena butir pasir, debu, liat terikat satu sama
lain oleh suatu perekat seperti bahan organik oksida-oksida besi dan lain-lain.
Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan atas kemantapan atau
ketahanan bentuk struktur tanah tersebut terhadap tekanan. Didaerah curah hujan
tinggi seperti pada profil dalam dan dangkal umunya ditemukan struktur remah
atau granular dipermukaan dan gumpal di horison bawah. Hal ini sesuai dengan
jenis tanah dan tingkat kelembaban tanah. Tanah-tanah dipermukaan banyak
mengandung humus biasanya mempunyai tingkat perkembangan yang kuat (Foth, 1994).
Warna tanah merupakan petujuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab
perbedaan warna permukaan tanah pada umumnya oleh perbedaan bahan organik.
Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Bahan organik
memberi warna kelabu, kelabu tua atau coklat tua pada tanah kecuali bila bahan
dasarnya tertentu sperti oksida dan besi atau penimbunan garam memodifikasi
warna. Akan tetapi banyak tanah tropika dengan kandungan oksida (hematit) yang
tiggi berwarna merah, bahkan dengan sejumlah besar bahan organik (Foth, 1994).
Batas lapisan dengan lapisan lainnya dalam suatu profil tanah dapat
terlihat jelas atau baur. Dalam pengamatan di lapangan ketajaman peralihan
lapisan-lapisan ini dibedakan kedalam beberapa tingkatan yaitu nyata (lebar
peralihan kurang dari 2,5 cm), jelas (lebar peralihan 2,5 – 6,5 cm) dan baur
(lebar peralihan lebih dari 12,5 cm).
disamping itu entuk topografi dari batas horison tersebut dapat rata, berombak,
tidak teratur atau terputus (Foth, 1988).
Karatan merupakan hasil pelapukan batuan tanah yang di pengaruhi oleh
adhesi dan kohesi. Karatan berwarna hitam mengandung banyak mangan (Mg)
sedangkan berwarna merah mengandung besi (Fe). Karatan merupakan hasil reaksi
oksidasi dan reduksi dalam tanah. Karatan menunjukkan hasil reaksi oksidasi dan
reduksi dalam tanah. Karatan menunjukkan bahwa udara masih dapat kedalam tanah
setempat sehingga terjadi oksidasi ditempat tersebut dan terbentuk
senyawa-senywa Fe3+ yang berwarna merah. Bila air tida pernah menggenang tata
udara dalam tanah selalu baik, maka seluruh profil tanah dalam keaadaan
oksidasi (Fe3+) oleh karena itu umumnya berwarna merah atau coklat. (Foth,
1988). Berdasarkan hasil pengamatan dan literatur yang didapatkan tanah
mempunyai beberapa lapisan dan warnanya bermacam-macam (Foth, 1994).
Tanah terdiri dari lapisan berbeda horisontal, pada lapisan yang
disebut horizons. Mulai dari kaya, organik lapisan atas (humus dan tanah) ke
lapisan yang rocky (lapisan tanah sebelah bawah, dan regolith bedrock) .
1. Horizon O – Bagian
atas, lapisan tanah organik, yang terdiri dari humus daun dan alas.
2. Horizon A – juga
disebut lapisan tanah, yang ditemui di bawah cakrawala O dan E di atas cakrawala.
Bibit akar tanaman tumbuh dan berkembang dalam lapisan warna gelap. Itu terdiri
dari humus dicampur dengan partikel
mineral.
3. Horizon E – adalah
lapisan warna terang dalam hal ini adalah lapisan bawah dan di atas A Horizon B
Horizon. Hal ini terdiri dari pasir dan lumpur, setelah kehilangan sebagian
besar dari tanah liat dan mineral sebagai bertitisan melalui air tanah.
4. Horizon B – juga disebut
lapisan tanah sebelah bawah ini adalah
lapisan bawah dan di atas E Horizon C Horizon. Mengandung tanah liat dan
mineral deposit (seperti besi, aluminium oxides, dan calcium carbonate) yang
diterima dari lapisan di atasnya ketika mineralized bertitisan air dari
tanah di atas.
5. Horizon C – juga
disebut regolith : di lapisan bawah dan di atas Horizon B R Horizon. Terdiri
dari sedikit rusak bedrock-up. Akar tanaman tidak menembus ke dalam
lapisan ini, sangat sedikit bahan organik yang ditemukan di lapisan ini.
6. Horizon R – The
unweathered batuan (bedrock) yang lapisan bawah semua lapisan
lainnya (Islami, 1995).
Gambar 8. Profil Tanah Di Bawah Kanopi
Batasan lapisan pertama
dan kedua berbaur karena perbedaan warna antara lapisan pertama dan kedua
hampir tidak dapat dibedakan dan biasanya disebabkan karena pencucian bahan
organik lapisan pertama terbawa kelapisan kedua Hal ini sesuai dengan pendapat
Foth (1988), bahwa adanya perbedaan lapisan pada tanah disebabkan proses
pelapukan sisa-sisa mikroorganisme atau proses humufikasi.
Warna (munsell) lapisan pertama berwarna cokelat
begitupun dengan lapisan kedua namun pada lapisan kedua warna lapisan cokelat
kekuningan Hal ini disebabkan pada lapisan I, mengandung bahan organik yang
lebih tinggi yang merupakan salah satu bahan yang mengendalikan warna pokok
tanah. Selain itu juga banyak terdapat tumbuhan sehingga jika mati akan
terurai. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwowidodo (1992), bahwa tanaman yang
mengalami penguraian akan memiliki warna tanah cenderung gelap. namun perbedaan
warnanya hampir tidak bisa dibedakan.
Tekstur pada lapisan pertama liat karena pada saat dipegang tanah ini
lengket dan halus Hal ini disebabkan karena kandungan air pada tanah alfisol
yang maksimum. Pada saat pengolahan akan sangat mudah tetapi bila sangat basah
maka alat yang digunakan mudah lengket, sedangkan pada saat kering tanah
tersebut akan sangat keras sehingga sukar untuk diolah. Tanah ini memiliki
horizon B yang kaya akan liat. Hal ini sesuai dengan pendapat Foth (1994),
bahwa tanah yang berada pada horizon B cenderung mengandung tekstur tanah yang
liat. sedangkan pada lapisan kedua liat berpasir, karena pada saat dipegang
tanah ini lengket dan terdapat butiran-butiran pasir. Struktur pada lapisan
pertama dan kedua granular.
Kesimpulan dari penelitian mengenai tanah dan
dekomposisi ini adalah semakin besar ukuran tanah maka akan semakin berat tanah
tersebut, begitu juga sebaliknya. Profil melintang tanah menunjukkan keadaan
tanah yang berbeda-beda dan mempunyai
lapisan-lapisan. Fauna yang ada dibawah kanopi lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan fauna bukan di bawah kanopi, di bawah kanopi didominasi rayap dan kutu,
bukan dibawah kanopi didominasi kutu. Proses dekomposisi dibantu oleh fauna
tanah dan mikroorganisme tanah yang mengurai serasah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dekomposisi adalah suhu, pH, kelembaban, tipe serasah dan faktor
lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan praktikum ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mardiansyah, M.Si dan Dina
Anggraini, S.Si selaku dosen yang telah membimbing saya dalam praktikum ini,
Ady Septianto Hermawan selaku assisten dan kepada Azkiya, Rima, Annisa, Gita,
Arman dan Udi yang telah membantu praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asri I.P., Rachman S., dan
Kabirun, S. 1999. “Pengaruh penambahan
biomassa algae terhadap penurunan Corganik pada dekomposisi limbah tanaman
nanas”. Agrosains 12 (3). 269-279.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A.,
dan Johnson, N.F. 1992. Pengenalan
Pelajaran Serangga. Malang: Pps. Universitas Brawijaya.
Brussaard, L. 1998. “Soil fauna,
guilds, functional groups, and ecosystem processes”. Appl. Soil Ecol. 9:
123-136.
Chapin, F. Stuart et al. Principles
of Terrestrial Ecosystem Ecology. 2002. New York: Springer-Verlag.
Dezzeo, N., Herrera, R.,
Escalante, G., and Briceno, E. 1998. Mass
and nutrient loss of fresh plant biomass in a small black-water tributary of
Caura river, Venezuelan Guayana. Biogeochemistry,
43: 197-210.
Doeswono,1983. Ilmu-Ilmu Terjemahan. Bhatara Karya
Aksara. Jakarta.
Edwards,
C. A., 1998. Earthworm Ecology. Soil and
Water Conservation Society. St. Luice Press. Ankeny, Iowa.
Foth, 1998. Dasar-Dasar
Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Foth, D.H. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah (diterjemahkan
oleh Soenartono Adisoemarto). Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hakim, N., Nyakpa Y.M., Lubis
M.A., Nogroho G.S., Saul R.M., Diha A.M., Hong B.G., dan Bailey H.H., 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu
tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Hättenschwiler, S., A.V. Tiunov
& S. Schen. 2005. Biodiversity and litter decomposition in terrestrial
ecosystem . Annual Reviews Ecology Evolusi System 36: 191-218.
Islami, T. 1995. Klasifikasi Tanah. Aka Press. Jakarta.
Kartasapoetra. A. G., 1991. Pengantar Ilmu Tanah. PT Bhineka Cipta. Jakarta.
Madjid, Abdul. 2007. Bahan Organik Tanah. Universitas
Sriwijaya. Palembang.
Martius, C., H. Hofer, M.V.B.
Garcia, J. Rombke & W. Hanagarth. 2003. Litter fall, litter stocks and
decomposition rates in rainforest and agroforestry sites in Central Amazonia. Nutrient
Cycling in Agroecosystem 68: 137-154.
P.
Lavelle, L. Brussaard and P. Hendrix, 1999. Earthworm
Management in Tropical Agroecosystems. CABI Publishing. UK.
Partaya. 2002. “Komunitas fauna tanah dan analisis bahan
organik di TPA kota Semarang”. Seminar Nasional: Pengembangan Biologi
Menjawab Tantangan Kemajuan IPTEK, tanggal 29 April 2002. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Pleguezuelo, C.R.R., V.H.D. Zuazo,
J.L.M. Fernandes, F.J.M. Peinado & D.F. Tarifa. 2009. Litter decomposition
and nitrogen release in a sloping mediterranean subtropical agroecosystem on
the coast of Granada (SE, Spain): Effect of floristic and topographic
alteration on the slope. Agriculture, Ecosystem and Environment 134:
79-88.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Surabaya: Penerbit
Usaha Nasional.
populasi cacing tanah pada sistem wanatani”. Tesis.
Prescott, C.E. 2005. Decomposition and mineralization of
nutrients from litter and humus dalam
H. BassiriRad (Ed.), Nutrient Acquisition by Plants an Ecological Perspective.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Vol 181.
Sugiyarto. 2000. “Keanekaragaman makrofauna tanah pada
berbagai umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kab. Kediri”. Biodiversitas 1
(2): 47-53.
Suhardjono, Y.R. 1998. “Serangga seresah: Keanekaragaman takson dan
perannya di Kebun Raya Bogor”. Jour. Biota 3 (1): 16-24.
Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Penarbit
Bumi aksara.
Sulistiyanto, Y., J.O. Rieley
& S.H. Limin. 2005. Laju dekomposisi
dan pelepasan hara dari serasah pada dua sub-tipe hutan rawa gambut di
kalimantan tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropica 11(2):
1-14.
Sutedjo, M.M., dan Kartasapoetra,
G.A. 1992. Pengantar Ilmu Tanah.
Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Wang, S., H. Ruan & Y. Han.
2010. Effect of microclimate, litter
type, and mesh size on leaf litter decomposition along an elevation gradient in
the Wuyi Mountains, China. China. Ecological Research 25: 1113-1120.
Yang, Y.S., J.F. Guo, G.S. Chen,
J.S. Xie, L.P. Cai & P. Lin. 2004.
Litter fall, nutrient return, and leaf-litter decomposition in four plantation
compared with a natural forest in subtropical China. Annual Forest Science. 61: 465-476.
LAMPIRAN
Tabel 1. Faktor Fisik Pengamatan
Waktu
|
Faktor
Fisik Lingkungan
|
||||
Suhu
udara
|
Suhu
Tanah
|
Lux
meter
|
pH
|
Kelembaban
|
|
0
|
31
|
28
|
4,7
|
8,9
|
90
|
1
|
31
|
29
|
17,2
|
4,5
|
90
|
2
|
27
|
27
|
1,39
|
3,5
|
90
|
3
|
28
|
27
|
3,5
|
7
|
70
|
Tabel 2. Kelimpahan Fauna di bawah
Kanopi
Tabel 3. Kelimpahan Fauna Bukan di
Bawah Kanopi
Tabel 4. Persentase Kerusakan dan
Berat Serasah di Bawah Kanopi
Tabel 5. Persentase Kerusakan
Serasah Bukan di Bawah Kanopi
Serasah
|
Minggu
0
|
Minggu
1
|
Minggu
2
|
Minggu
3
|
Daun
|
10
|
10
|
30
|
65
|
Rumput
|
15
|
15
|
40
|
70
|
Tabel 6. Berat Serasah Bukan di Bawah Kanopi
Serasah
|
Minggu
0
|
Minggu
1
|
Minggu
2
|
Minggu
3
|
Daun
|
5,0735
|
5,0349
|
5,4665
|
3,014
|
Rumput
|
10,0135
|
5,2293
|
2,1624
|
1,8346
|
Tabel 7. Berat dan Ukuran Tanah
Gambar 1. Penggunaan Soil Tester
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 2. Cacing tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 3. Pembuatan Profil Tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 4. Peletakkan Kantung Serasah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 5. Pengukuran Suhu Tanah
dengan Termometer Tanah
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar