Pages

Minggu, 20 Oktober 2013

LAPORAN FIELDTRIP EKOLOGI DASAR "PENGAMATAN KELELAWAR DI TWA TELAGA WARNA"

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan peradaban bangsa kedepan, sangat dipengaruhi oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dunia yang hanya bisa dicapai melalui keberhasilan aktivitas penelitian dan pengembangan. Sesuai dengan pasal 31 ayat 5 hasil amandemen UUD 1945 bahwa “Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai–nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Menindaklanjuti perkembangan ilmu pengetahuan, maka kami mahasiswa Biologi 2011 mengadakan praktikum lapangan Ekologi Dasar di Taman Wisata Alam Telaga Warna Puncak Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi dipilih karena pertimbangan dari beberapa faktor. Dilihat dari faktor geografis dan keanekaragaman jenis fauna di Taman Wisata Alam Telaga Warna Puncak Bogor terletak di koordinat 7011’ 13” LS, 109055’22” BT dan berbatasan :

Sebelah Utara dengan Kabupaten Indramayu
Sebelah Timur dengan Kabupaten Cirebon
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Ciamis
Sebelah Barat dengan Kabupaten Sumedang

Taman Wisata Alam Telaga Warna terletak di sekitar Puncak Pass dan tidak jauh dari jalan raya Bogor Cianjur, yang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Di dalam kawasan ini terdapat beberapa vegetasi yang termasuk tipe hutan hujan pegunungan, floranya terdiri dari beraneka ragam jenis pohon-pohonan, Liana dan epiphyt.  Flora yang terdapat adalah merupakan vegetasi hutan pegunungan dengan jenis-jenis pohonnya adalah Puspa (Schima walichii), dan Saninten (Castanopsis argentea). Sedangkan untuk faunanya terdapat jenis satwa liar yaitu beberapa jenis burung (aves) seperti Tekukur (Streptopelia chinensis), Puyuh (Turnix suscitator), Kadanca (Ducula sp), dan Walet (Collocalia vulvanorum).
Karena Taman Wisata Alam Telaga Warna memiliki potensi keanekaragaman biota yang tinggi, kondisi perairan yang tenang, jernih dan kondisi udara yang sejuk, menjadi pilihan untuk melakukan pengamatan tentang kelelawar yang ada di Telaga Warna.

1.2 Tujuan
              Adapun tujuan dari praktikum lapangan ini adalah :
1.   Mengetahui keaekaragaman jenis kelelawar yang ada di Taman Wisata Alam Telaga Warna.
2.   Mengetahui morfologi kelelawar yang didapat dengan Mistnet
3.   Mengetahui jenis kelelawar yang ditemui di Taman Wisata Alam Telaga Warna
4.   Mengetahui peranan kelelawar di dalam ekosistem 
1.3 Manfaat
Hasil pengamatan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai komunitas kelelawar (Microchiroptera dan Megachiroptera di kawasan Taman Wisata Alam Telaga Warna serta peranan tiap kondisi habitat bagi kelelawar sehingga dapat meningkatkan upaya perlindungan terhadap spesies maupun habitatnya.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1  Definisi Kelelawar
Kelelawar merupakan hewan dengan jumlah jenis terbanyak kedua pada kelompok mamalia (Wilson dan Reeder, 1993), lebih dari setengah spesies mamalia di hutan tropis adalah kelelawar. Kelelawar terdiri dari dua sub ordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera berperan sebagai pollinator dan disperser tanaman sedangkan Microchiroptera berperan sebagai pengendali populasi serangga dan vertebrata kecil (Findley, 1993; Altringham, 1996). Microchiroptera merupakan kelompok kelelawar yang memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu 834 spesies, sedangkan Megachiroptera hanya terdiri dari 167 spesies. Jumlah spesies yang sangat banyak ini menjadikan Microchiroptera menarik untuk diteliti selain peranannya yang sangat penting sebagai pengendali populasi serangga (Hutson et al., 2001).
            Kelelawar merupakan satu-satunya anggota mamalia yang mampu terbang secara sempurna, Kelelawar merupakan satu-satunya anggota mamalia yang mampu terbang secara sempurna, hal ini dikarenakan kelelawar mempunyai membran pada tungkai depannya (Hill & Smith, 1984) dan persebarannya di daerah tropis sampai dengan daerah subtropis. Kelelawar mempunyai membran yang membentang pada sisi tubuh, kaki dan ekor, yang merupakan perluasan kulit punggung dan perut. Membran tersebut sangat tipis dan elastik, serta terdiri dari dua lapisan kulit dan tidak ada daging di antaranya, dan hanya mengandung anyaman bersambung yang berisi saraf dan pembuluh darah. Kelelawar termasuk dalam Ordo Chiroptera, ordo ini terdiri dari dua sub ordo, yaitu Megachiroptera (pemakan tumbuhan/buah) dan Microchiroptera (pemakan serangga) (Walker, 1983).
Megachiroptera berukuran sedang sampai besar, memiliki panjang lengan bawah 36 - 228 mm, dan berat tubuhnya mencapai 10 gram sampai dengan lebih dari 1500 gram (Nowak, 1995). Kelelawar dari jenis ini tidak memiliki kemampuan ekolokasi yang bagus, hanya seperseribu energi suara yang dihasilkan oleh kelelawar pemakan serangga terbang dan ikan (Walker, 1983). Akan tetapi kelelawar ini memiliki mata yang besar dan kemampuan melihat yang berkembang dengan baik. Sebagian besar memilih buah sebagai makanan utamanya dan beberapa jenis yang lain adalah pemakan nektar atau pollen. Megachiroptera hanya terdiri dari satu family/suku, yaitu famili Pteropodidae (Findley,1993). Microchiroptera memilki ukuran yang tidak terlalu besar, lengan bawah berukuran 22 – 115 mm, dan berat tubuhnya sekitar 2 – 196 gram. Kelelawar ini memiliki kemampuan ekolokasi yang sangat baik, telinga luar berkembang dengan baik, dan memiliki lipatan – lipatan khusus serta tragus dan anti tragus yang berperan dalam penerimaan suara, ini tidak dimiliki oleh kelelawar Megachiroptera (Nowak, 1995).
Kelelawar merupakan hewan nocturnal yang mempunyai peran ekologi sangat penting. Kelelawar Microchiroptera sebagian besar merupakan pemakan serangga (insektivor), tentunya sangat berperan dalam mengontrol dan mengendalikan populasi serangga, sehingga tidak terjadi ledakan populasi terutama seranga yang berpotensi sebagai hama. Sedangkan kelelawar Megachiroptera, memiliki anggota jenis yang sebagian besar memilih buah sebagai makanannya, dan beberapa jenis yang lain mengkonsumsi nectar atau pollen, berperan penting dalam membantu penyebaran biji (seed dispersal) dan juga membantu penyerbukan bunga pada berbagai jenis tumbuhan, sehingga kelelawar mampu memegang “peran kunci“ dalam sebuah komunitas hutan.
Kelelawar umumnya tinggal di gua, bahkan lebih dari setengah jumlah jenis kelelawar pemakan serangga memilih gua sebagai tempat tinggalnya (Suyanto, 2001). Gua merupakan suatu habitat yang mempunyai lingkungan yang khas dan berbeda dengan lingkungan yang lain di luar gua (Alle & Schmidt, 1963). Akan tetapi lingkungan gua juga sangat rentan terhadap gangguan, salah satunya adalah gangguan yang ditimbulkan karena aktivitas manusia, seperti pengambilan guano, penambangan batu kapur ataupun pembukaan gua sebagai obyek wisata. Kerusakan habitat akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kemampuan bertahan hidup dari kelelawar (Johnston, 2002).

1.2 Ciri-ciri Penting Dalam Identifikasi Kelelawar
(diadopsi dari Suyanto & Wiantoro, 2012)
Secara umum dalam identifikasi kelelawar terdapat dua macam cirri atau karakter, yaitu karakter yang bersifat kualitatif dan karakter yang bersifat kuantitatif (ukuran). Hal yang perlu diketahui untuk pengenalan kualitatif adalah sebagai berikut:
¾    Selaput kulit antarpaha tumbuh baik atau tidak
¾    Ada atau tidak adanya ekor
¾    Pola perlekatan ekor pada selaput kulit antarpaha
¾    Ada atau tidak adanya tragus dan antitragus
¾    Ada atau tidak adanya daun hidung
¾    Struktur gigi geligi
1.2.1 Selaput kulit antarpaha
Pada ilustrasi di bawah tampak bahwa anggota suku Pteropodidae, selaput kulit antarpaha tidak tumbuh baik dan ekor pendek, bebas tidak melekat pada selaput kulit. Sedangkan anggota suku Megadermatidae mempunyai selaput kulit antarpaha yang tumbuh baik, tetapi tidak memiliki ekor. Kelompok suku Vespertilionidae dan Nycteridae dilengkapi ekor yang tidak bebas, tetapi melekat secara sempurna pada selaput kulit antarpaha. Pada suku Nycteridae ujung ekor membentuk bangunan seperti huruf T. Berbeda dengan suku Emballonuridae yang selaput kulit antarpaha tumbuh baik tetapi ekor sebagian besar melekat, sedangkan sebagian kecil ujungnya mencuat bebas pada pertengahan selaput kulit atau dengan kata lain ekor bebas sangat pendek, harus diamati dengan seksama baru tampak. Sedangkan pada suku Molossidae ekor yang bebas munculnya di tepi belakang selaput kulit antarpaha dan ekor yang bebas dapat tumbuh panjang sehingga sangat mudah dikenali. (Suyanto & Wiantoro, 2012)
Gambar. Selaput kulit antar paha beberapa suku kelelawar.
1.2.2 Daun hidung
Daun hidung sesungguhnya merupakan tambahan organ pada hidung yang khas pada kelelawar. Secara garis besar daun hidung terdiri atas lipatan kulit bagian depan/anterior yang bentuknya seperti tapal kuda, bagian tengah yang merupakan bangunan menonjol disebut taju penghubung dan bagian belakang yang merupakan lipatan kulit yang menonjol ke atas berbentuk segitiga sampai lanset disebut daun hidung belakang/posterior. Selain itu ada organ tambahan yang disebut lapet yang merupakan tonjolan sela bagian bawah. Kebanyakan jenis kelelawar anggota suku Rhinolophidae tidak memiliki lapet. Sela merupakan bagian depan taju penghubung. Ukuran dan bentuk sela merupakan ciri penting dalam identifikasi jenis anggota suku Rhinolophidae. Berbeda dengan daun hidung Rhinolophidae, daun hidung bagian tengah anggota suku Hipposideridae merupakan organ seperti kasur menyilang wajah, sedangkan daun hidung belakang berupa lipatan kulit yang berbentuk segi panjang bersekat atau tidak. Selain itu, daun hidung Hipposideridae memiliki lipatan kulit tambahan di tepi bawah daun hidung depan yang disebut daun hidung tambahan. Ada atau tidak adanya daun hidung tambahan dan jumlah daun hidung tambahan penting dalam identifikasi jenis anggota Hipposideridae. (Suyanto & Wiantoro, 2012).

Gambar. Daun hidung Rhinolophus trifoliatus

Gambar. Daun hidung anggota suku Hipposideridae





1.2.3 Tonjolan Daun telinga
Tonjolan daun telinga merupakan ciri penting dalam klasifikasi kelelawar. Pteropodidae adalah suku kelelawar pemakan tumbuhan yang tidak memiliki tonjolan/lipatan daun telinga. Tonjolan bagian daun telinga sebelah dalam disebut sebagai tragus, sedangkan tonjolan bagian daun telinga sebelah luar disebut anti tragus. (Suyanto & Wiantoro, 2012).
1.2.4 Gigi Geligi
Rumus gigi mamalia lengkap dapat digambarkan sebagai berikut:
i 1 i 2 i 3 c p 1 p 2 p 3 p 4 m 1 m 2 m 3
i 1 i 2 i 3 c p 1 p 2 p 3 p 4 m 1 m 2 m 3
Keterangan:
i: gigi seri; p: geraham depan; c: taring; m: geraham belakang
Anak bangsa Microchiroptera atau kelelawar pemakan serangga, gigi seri dan geraham depan mereduksi mulai nomor rendah, sedangkan geraham belakang mereduksi mulai dari nomor besar. Pada anggota anak bangsa Megachiroptera atau kelelawar pemakan tumbuhan/buah, gigi seri dan geraham belakang mereduksi dari nomor besar dan geraham depan yang mereduksi adalah nomor dua (p2).Miniopterus, anak bangsa Microchiroptera merupakan anggota kelelawar pemakan serangga yang memiliki rumus gigi
i 2 i 3 c p 3 p 4 m 1 m 2 m 3 …….
i1 i2 i3 c p2 p3 p4 m1 m2 m3
Rousettus, anak bangsa Megachiroptera merupakan anggota kelelawar pemakan tumbuhan/buah yang memiliki rumus gigi
i 1 i 2 c p 1 p 3 p 4 m 1 m 2……
i1 i2 c p1 p3 p4 m1 m2 m3
Bentuk gigi seri yang terbelah juga merupakan salah satu karakter untuk identifikasi, misalnya gigi seri belah di tengah sehingga terbagi kanan kiri pada gigi seri Rousettus, ada pula yang terbelah depan dan belakang seperti pada Pipistrellus. (Suyanto & Wiantoro, 2012).
1.2.5 Ciri Kuantitatif
Ciri kuantitatif adalah semua ciri yang bisa diukur dengan suatu alat. Biasanya untuk ukuran panjang dalam satuan milimeter (mm), sedangkan bobot dalam gram. Pengukuran panjang menggunakan kaliper geser atau kaliper jenis lainnya, sedangkan bobot dengan timbangan gantung pegas Pesola ataupun timbangan digital.
Ukuran Standard Tubuh
-        Panjang badan dan kepala (BK): Diukur dari ujung hidung sampai anus/pangkal ekor.
-        Panjang ekor (E): Diukur dari anus/pangkal ekor sampai ujung ekor.
-        Panjang kaki belakang (KB): Diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang: apabila tidak termasuk cakar disebut panjang kaki seine unguis atau disingkat su, jika termasuk cakar disebut panjang kaki belakang cum unguis atau disingkat cu.
-        Panjang lengan bawah (LB): Diukur dari sisi luar siku sampai dengan sisi luar pergelangan metacarpal pada sayap yang melengkung.
-        Panjang telinga (T): Diukur dari pangkal sampai dengan ujung telinga.
-        Bobot (Wt) diukur dengan menggunakan timbangan gantung pegas dalam gram.
Gambar Ukuran bagian tubuh luar.
1.2.6 Ukuran Tengkorak
-     Panjang tengkorak total (Pt): Panjang dari occiput, titik paling belakang tengkorak ke titik terdepan tengkorak pada tengah antara gigi seri pertama atas kanan dan kiri.
-     Panjang tengkorak condylobasal (cbl): Panjang tengkorak antara titik paling menonjol pada condylus occipitalis sampai titik terdepan tengkorak pada tengah antara gigi seri atas pertama kanan dan kiri.
-     Panjang tengkorak condylocaninus (ccl): Panjang tengkorak antara titik paling menonjol pada condylus occipitalis dan titik terdepan taring atas.
-     Baris gigi rahang atas (ra): Panjang baris gigi atas dari ujung belakang gigi geraham belakang sampai bagian depan gigi taring.
-     Lebar geraham belakang (g-g): Lebar melintasi sisi luar geraham belakang.
-     Lebar gigi taring (t-t): Lebar melintasi sisi luar pangkal gigi taring.
Gambar. Ukuran tengkorak.
1.3  Habitat Kelelawar

Menurut Nowak ( 1994), kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi, kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar merupakan faktor  penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Menurut Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar ditemukan di Madagaskar dan Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah; 240 jenis ditemukan di Asia dan Australia; dan sekitar 40 spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa.  Menurut Suyanto et al. (1998), di Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh kepulauan 19 Indonesia.  Lebih lanjut Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan Mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl. Winkelmann et al. (2000) meneliti penggunaan habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di Papua New Guinea. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah 1) struktur fisik habitat, 2) iklim mikro habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber air, 4) keamanan dari predator, 5) kompetisi, dan 6) ketersediaan sarang (Winkelmann et al. 2000).

1.6 Penurunan Populasi Kelelawar
Pada dekade belakangan ini, populasi kelelawar telah mengalami penurunan global, kecenderungan terkait dengan kehilangan habitat (Mickleburgh et al., 2002). Di Asia Tenggara, 20% spesies kelelawar diperkirakan akan punah pada tahun 2100 (Lane et al., 2006). Walaupun demikian, kelelawar masih sering terabaikan dalam penilaian keanekaragaman hayati dan penelitian. Hal ini mungkin karena kelelawar secara luas dianggap berisiko rendah terhadap kepunahan karena memiliki kemampuan untuk terbang (Struebig, 2008).


















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1.1    Waktu  dan Tempat Penelitian
Waktu Penelitian                   :  Jum’at, 9 November 2012
Tempat Penelitian                   : Taman Wisata Alam Telaga Warna, Puncak, Kabupaten    Bogor, Provinsi Jawa Barat.
1.2    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pengamatan ini yaitu senter, untuk mempermudah penglihatan dalam mengamati kelelawar; kamera, untuk mendokumentasikan kelelawar yang didapat  di lapangan; mistnet, untuk alat penjerat atau menangkap kelelawar;tali rafia, untuk mengikat missnet pada pohon;alat tulis dan buku, digunakan untuk mencatat data kelelawar yang diperoleh; jangka sorong, untuk mengukur panjang badan, tangan kelelawar
Bahan yang digunakan dalam pengamatan ini tidak ada, karena pengamatan ini hanya melakukan pemasangan perangkap yaitu mistnet untuk menangkap kelelawar.

1.3  Metode
Metode yang digunakan dalam pengamatan kelelawar di Taman Wisata Alam Telaga Warna adalah teknik survei dengan cara observasi atau pengamatan langsung di lapangan dan menggunakan alat perangkap mistnet.

1.4  Prosedur Kerja
Pertama pengumpulan data dilakukan dengan cara pemasangan jaring kabut yang diletakkan di tempat yang sudah dipertimbangkan menjadi tempat-tempat yang menjadi jalur terbang kelelawar. Tempat-tempat yang menjadi jalur terbang pada : kebun masyarakat (kebun teh) dan pada daerah yang agak sedikit terbuka (sekitar penginapan). Jaring kabut yang digunakan untuk menangkap kelelawar sebanyak 2 jaring yang direntangkan dengan menggunakan tali yang diikat pada batang pohon yang ada di sekitar lokasi pemasangan jaring kabut.
Jaring kabut dipasang mulai pukul 18.00 – 18.30 WIB lalu dibiarkan selama 1 malam atau sampai ada kelelawar yang terperangkap. Kelelawar yang tertangkap diidentifikasi dengan cara memegang tubuh sampel dengan posisi sayap dalam keadaan tertutup, lalu lehernya dijepit dengan lembut menggunakan jari telunjuk dan ibu jari agar terhindar dari gigitan, selanjutnya dilakukan identifikasi jenis kelamin, pengukuran dan pencatatan data variabel pengamatan antara lain, Panjang Ekor (E) diukur dari pangkal ekor hingga ujung ekor tidak termasuk bulu atau rambut panjang yang memanjang melebihi ekor, Panjang Tibia/ betis (Bet) dikur dari lutut sampai pergelangan kaki, Panjang Telinga (T) diukur dari bagian dasar tekik atau lekuk dekat pangkal telinga sampai ujung, Bentang Sayap (BS) diukur dengan cara membentangkan sayap kelelawar lalu diukur dengan mengukur ujung sayap terluar pada salah satu sisi sampai pada ujung sayap terluar sisi yang lain, Panjang Lengan Bawah (LB) diukur dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangandan Panjang Kaki (K). Selanjutnya sampel difoto  dan dilepaskan lagi ke alam.

1.4.1        Analisis Data
Analisis data secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar spesimen.













BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1 Data Kelelawar

Gambar
Keterangan

               
Dokumentasi pribadi
-          Jenis kelamin   :  jantan
-          Panjang Tibia   : 2, 2      cm
-          Panjang Kaki     : 1, 7     cm
-          Panjang Telinga : 1, 37   cm
-          Panjang Ekor     : 0, 5     cm
-          Panjang Sayap   : 17, 23 cm
-          Panjang LB       : 6, 6     cm
Karakteristik
-          Pemakan buah
-          Mempunyai mata yang besar
-          Mempunyai hidung yang kecil
-          Tidak mempunyai tragus (Pteropodidae)
-          Mempunyai cakar
-          Mempunyai gigi seri atas dan bawah masing-masing 4 buah
-          Mempunyai ekor
-          Mempunyai gigi geraham atas 3 atau > 3
-          Termasuk ke dalam Genus Cynopterus sp
-          Mempunyai telinga dengan garis putih.

Setelah pemasangan perangkap mistnet sebanyak 2 buah pada dua lokasi yang berbeda yaitu di perkebunan teh dan di sekitar penginapan / homestay didapatkan 1 kelelawar yang terperangkap di mistnet sekitar penginapan. Kelelawar yang tertangkap perangkap mistnet di Telaga Warna termasuk ke dalam Subordo kelelawar Megachiroptera dan termasuk Genus Cynopterus sp dengan ciri-ciri dan data ukuran tubuh yang dapat dilihat pada tabel 4.1.
Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya adalah buah (frugivora), selain itu juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak, 1994). Menurut Altringham (1996) anggota subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang relatif besar (bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan bentangan sayap maksimum 1700 mm); memiliki mata besar dan kemampuan melihat yang berkembang dengan baik; telinga tidak memiliki tragus; moncong sederhana dan ekor tidak berkembang; jari kedua dan jari ketiga terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari jari kedua, kecuali pada Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix. Megachiroptera berukuran sedang sampai besar, memiliki panjang lengan bawah 36 – 228 mm, dan berat tubuhnya mencapai 10 gram sampai dengan lebih dari 1500 gram. Kelelawar dari jenis ini tidak memiliki kemampuan ekolokasi yang bagus, hanya seperseribu energi suara yang dihasilkan oleh kelelawar pemakan serangga terbang dan ikan (Walker, 1983).
Klasifikasi Kelelawar Megachiroptera yang ditemukan menurut Corbert & Hill (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom         :  Animalia
Filum               :  Chordata
Sub Filum        :  Vertebrata
Kelas               :  Mamalia
Ordo                :  Chiroptera
Subordo          :  Megachirptera
Famili              :  Pteropodidae
Genus              : Cynopterus
Spesies            : Cynopterus sp                          Dokumentasi pribadi

Menurut Nowak (1994), kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi, kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Menurut Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar ditemukan di Madagaskar dan Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah; 240 jenis  ditemukan di Asia dan Australia; sekitar 40 spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa. Menurut Suyanto et al. (1998), di Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh kepulauan Indonesia.
Kelelawar di kawasan Taman Wisata Alam Telaga Warna termasuk banyak tetapi yang terperangkap pada mistnet hanya 1 ekor karena mistnet yang dipasang di perkebunan teh kurang strategis dan jarang dilalui oleh kelelawar. Banyaknya kelelawar yang ada di Taman Wisata Alam Telaga Warna karena tercukupi semua kebutuhan pakan bagi kelelawar yang terdapat pada pohon-pohon buah yang terdapat disana.
Kelelawar merupakan hewan nocturnal yang mempunyai peran ekologi sangat penting. Kelelawar Megachiroptera memiliki anggota jenis yang sebagian besar memilih buah sebagai makanannya, dan beberapa jenis yang lain mengkonsumsi nectar atau polen, berperan penting dalam membantu penyebaran biji (seed dispersal) yaitu dengan cara mengambil buah dari suatu tempat, memakan daging buahnya di tempat yang berbeda dan membuang biji dari buah tersebut. Sebagian biji ikut termakan dan masuk ke dalam sistem pencernaan. Proses pencernaan makanan dalam tubuh kelelawar berlangsung dalam waktu singkat, sehingga kadang-kadang kelelawar juga membuang kotoran sambil terbang. Biji-bijian yang dikeluarkan bersama kotoran kelelawar ini kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Apalagi didukung oleh kemampuan terbangnya yang cukup jauh, maka kelelawar dapat berperan sebagai hewan yang paling efektif dalam menyebarkan biji.
Dalam konteks pemulihan ekosistem hutan dan kelestarian keanekaragaman tumbuhan, kelelawar memainkan peranan yang sangat penting pada proses regenerasi hutan.
Selain menyebarkan biji Megachiroptera juga membantu penyerbukan bunga pada berbagai jenis tumbuhan. Aktivitasnya sebagai pemakan nektar atau serbu sari ini secara tidak langsung dapat membantu penyerbukan beberapa jnis tumbuhan. Seperti kita ketahui bahwa di alam ini ada beberapa jenis tumbuhan yang tidak bisa menyerbuk sendiri, tetapi memerlukan bantuan seperti manusia, angin, serangga dan hewan lainnya. Jenis-jenis tumbuhan yang penyerbukannya dibantu oleh kelelawar adalah durian, pisang, petai, kapok dan lain-lain. Sampai saat ini diketaui paling sedikit 150 jenis tumbuhan yang proses penyerbukannya dibantu oleh kelelawar sehingga kelelawar mampu memegang “peran kumci” dalam sebuah komunitas hutan.
 Meskipun kelelawar mempunyai peran yang sangat membantu manusia, kadang-kadang manusia itu sendiri tidak menyadari bahwa kelelawar memiliki peran penting dalam kehidupannya. Selain Megachiroptera ada juga Microchiroptea yang berperan sebagai pengendali hayati yaitu kelelawar pemakan serangga yang umumnya menjadi hama tanaman. Selain peran-peran penting bagi manusia, kelelawar juga mempunyai manfaat/ kelebihan lain yaitu guano. Guano adalah kotoran kelelawar yang dapat dijadikan pupuk karena kandungan Nitrogen di dalamnya yang tinggi dan baik untuk tanaman.
Mengingat pentingya peran dan fungsi kelelawar pada suatu ekosistem  sudah seharusnya kita sebagai manusia menjaga dan melestarikan keeberadaannya yang merupakan hal penting untuk menjaga keberlanjutan suatu ekosistem sehingga memberikan keuntungan bagi manusia.










BAB V
PENUTUP

5.1  Kesimpulan

1.    Jenis kelelawar yang didapatkan di Taman Wisata Alam Telaga Warna adalah Megachiroptera dan termasuk Genus Cynopterus sp
2.     Morfologi kelelawar Megachiroptera yang didapat dengan mistnet adalah tidak mempunyai tragus,hidung kecil, bermata besar, mempunyai cakar, mempunyai ekor dan pemakan buah.
3.     Peranan kelelawar di dalam ekosistem khususnya Megachiroptera adalah sebagai polinator bagi tumbuhan, membantu penyebaran biji dan  memegang peran penting dalam ekosistem hutan.


5.2  Saran
Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut mengenai manfaaat kelelawar bagi ekosistem. Dilakukan metode yang lebih efektif dalam pengamaan kelelawar agar hasil penelitian lebih akurat.













DAFTAR PUSTAKA

Akcakaya, H.R., M.A. Brugman, O. Kindval, C.C. Wood, P.S. Gulve, J.S. Hatfield,M.A. McCarthy. 2004. Species Conservation and Management. Oxford
University Press.

Alle, W. C. & K.P. Schmidt. 1963. Ecological Animal Geography 2nd ed. John Willey and Sons Inc. London.
Allen, G. M. 1938. The mammals of China and Mongolia. Natural history of Central Asia, Vol. XI, part 1. AMNH, New York.

Altringham, J.D. 1996. Bats: Biology and Behaviour. Oxford University Press. Oxford.

Azlan M, I Maryanto, and AP Kartono. 2003. Diversity, relative abundance and conservation of chiropterans in Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. In: A Mardiastuti and T Soehartono, editor. Join Biodiversity Expedition in Kayan Mentarang National Park. Ministry of Forestry-WWF-Indonesia-ITTO. Jakarta.

Bates, P. J. J., D. L. Harrison. 1997. Bats of the Indian Subcontinent. Sevenoaks: Harrison Zoological Museum.

Begon, M., C. R. Townsend, J. L. Harper. 2005. Ecology: from Individuals to Ecosystems. Blackwell Publishing United Kingdom.

Bernard, E. Dan M.B. Fenton. 2002. Species diversity of bats (Mammalia: Chiroptera) in forest fragments, primary forests, and savannas in Central Amazonia, Brazil. Canadian Journal of Zoology 80: 1124–1140.

Bierregaard, R.O., T.E. Lovejoy, V. Kapos, A.A. dos Santos, and R.W. Hutchings. 1992. The biological dynamics of tropical rainforest fragments. Bioscience 42:859-866.

Borissenko, A.V., S.V. Kruskop, E.V.Dorokhina. 2001. The Bats (Chiroptera, Mammalia) of the Vu Quang Nature Reserve: community structure and ecomorphological patterns. — Pp. 190–215. In: Materials of zoological and botanical studies in Vu Quang Nature Reserve (Ha Tinh Province,Vietnam), Moscow–Hanoi.

Borissenko, A.V. and Kruskop, S. V. 2003. Bats of Vietnam and AdjacentTerritories and Identification Manual. Joint Russian-Vietnamese Science and TechnologicalTropical Centre Zoological Museum of Moscow M. V. Lomonosov State University Moscow.

Findley, J. S. 1993. Bats a community perspective. Cambridge University Press. New York.
Hill, J. E. & J.D. Smith. 1984. Bats A Natural History. British Museum (Natural History) Cromwell Road. London.
Johnston, D. 2002. Data Collection Protocol Yuma Bat (Myotis yumanensi) in Wetlands Regional Monitoring Program Plan 2002. United States.
Matthew J, Struebig MJ, Kingston T, Zubaid A, Moh-Adnan A, Rossiter SJ. 2008. Conservation value of forest fragments topaleotropical bats. Biol. Conserv. 141 (8):2112-2126.
Nowak, K. M. 1995. Walker’s Bat of the World. John Hopkins University Press, Baltimore nad London.
Suyanto, A. 2001. Kelelawar Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Bogor.
Walker. 1983. Mammal’s of The World, Fourth edition, vol I. The John Hopkins University Press. Baltimore. London.
Yaap B, Struebig MJ, Paoli G, Koh LP. 2010. Reviewing Mitigating The Biodiversity Impact Of Oil Palm Development. CAB Reviews: Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 2010, No. 019 1-12.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar